loader

Lepas Dari Resesi, Relaksasi Ekspor Sawit Berkontribusi Besar Dalam Ekonomi Indonesia

Foto

JAKARTA, GLOBALPLANET - Direktur Eksekutif Indef, Dr. Tauhid Ahmad menyampaikan Indonesia memiliki tiga komoditas unggulan yang berkontribusi bagi perekonomian yaitu besi dan baja, sawit, dan batubara yang dapat mengantisipasi ancaman resesi dunia terhadap perekonomian Indonesia dengan kebijakan relaksasi pada ekspor komoditas.

“Sebenarnya, Indonesia bisa selamat dari resesi karena diuntungkan dari kenaikan harga komoditas global sehingga menambah pendapatan negara,” kata Tauhid Ahmad dalam diskusi virtual bertema “Ancaman Resesi, Peningkatan Ekspor Non Migas dan Dampak Penerapan kebijakan Ekspor CPO,” yang diselenggarakan Forum Jurnalis Sawit (FJS) di Jakarta, Senin 3 Oktober 2022.

Karena itulah, dikatakan Tauhid Ahmad, bahwa pemerintah perlu memberlakukan regulasi pro komoditas ditengah ketidakpastian global yang tinggi, terutama dengan melonjaknya harga komoditas pangan dan energi menjadi tantangan bagi perekonomian nasional.

Tauhid Ahmad masih menyakini bahwa CPO atau minyak sawit masih menjadi komoditas yang menyumbangkan pundi-pundi besar terhadap devisa negara.

Sebagai produsen sawit terbesar di dunia, dijelaskan Tauhid, kebijakan yang dibuat pemerintah akan berimplikasi kepada perdagangan dunia. Begitu larangan ekspor berjalan akan berdampak kepada anjloknya harga CPO domestik dan harga TBS petani sawit.

“Kendati larangan ekspor dicabut, tidak serta merta membuat harga kembali normal. Malahan (harga) turun drastis. Hal ini membuat pemerintah membuat kebijakan penghapusan pungutan ekspor sampai Oktober,” urainya. 

Ironisnya, saat ini masih ada beberapa kebijakan yang justru membatasi kegiatan ekspor minyak sawit. “Sebut saja Bea Keluar, Pungutan Ekspor, Domestic Market Obligation (DMO), Domestic Price Obligation (DPO), Persetujuan Ekspor, dan Flush Out,” ungkap Tauhid Ahmad.

“Di saat situasi sudah normal seperti sekarang yang menjadi pertanyaan apakah DMO/DPO sawit masih layak dipertahankan? Lalu apa yang menjadi indikator batasan bagi pemerintah? tanya Tauhid Ahmad.

Itu sebabnya, kata Tauhid, harga CPO akan dipengaruhi faktor seperti kebijakan pemerintah dan situasi dunia seperti permintaan.

Selanjutnya, pencabutan larangan ekspor dengan tetap adanya DMO dan DPO membuat harga CPO dan TBS tetap turun.

“Dengan kebutuhan minyak goreng sebesar 3 juta ton, lalu perlukah DMO dan DPO ? Karena stok cukup melimpah 5 juta ton,” ujarnya.

Tauhid mengatakan perlu adanya relaksasi DMO dengan batas atas dan bawah, dikaitkan dengan stok yang ada pada masing-masing perusahaan. Maka kebijakan DMO/DPO ini perlu dikajiulang.

“Perlu formulasi kebijakan pada saat “krisis” dan “normal” sehingga dampak ke konsumen, produsen dan petani bisa diterima dengan baik dari hulu hingga hilir,” urainya.

Tauhid mengatakan harga CPO dunia bergerak ke arah normal tetapi pemerintah tetap mempertahankan skenario DMO. Komposisi DMO 1:9 perlu dikaji lagi karena stok CPO Indonesia masih cukup banyak.

Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor minyak sawit mentah (CPO) berkontribusi sebesar Rp112,82 triliun bagi perekonomian Indonesia sepanjang kuartal I/2022. Angka ini setara 2,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Share

Ads