loader

Solusi Dua Negara yang Tak Pernah Ada

Foto

PERNYATAAN - Entah alasan politik atau ideologis, pernyataan Netanyahu mencerminkan isi hati para politisi zionis yang sekarang duduk dalam pemerintahan di Israel.

Empat belas tahun lalu, tahun 2007, dalam rangkaian tugas jurnalistik ke wilayah konflik Palestina-Israel, Two States Solution (Solusi Dua Negara) telah didengungkan dan diharapkan menjadi pintu bagi perdamaian di Tanah Palestina. Israel menjadi sebuah negara merdeka, begitu juga dengan Palestina.

Tentu saja, harapannya Palestina mendapatkan wilayah kedaulatan seperti sebelum Perang Enam Hari tahun 1967. Wilayah tersebut meliputi: Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Jerusalem Timur. Jika ini bisa disepakati, maka Masjidil Aqsa yang berada di Jerusalem Timur (Al Quda) masuk dalam wilayah Palestina.

Namun, hingga hari ini, alih-alih Solusi Dua Negara tersebut diwujudkan. Kondisi rakyat Palestina baik yang ada di Al Quds, Tepi Barat, maupun Jalur Gaza, semakin menderita. Di Jerusalem Timur dan Tepi Barat, Israel terus memperluas pemukiman Yahudi dan terus mengusir rakyat Palestina dari rumah-rumah mereka. Bangunan tembok beton setinggi 8 meter terus dibangun Israel yang akhirnya mengisolasi akses warga Tepi Barat untuk bisa ke Jerusalem. Sementara itu, jalur Gaza diblokade total, termasuk pelabuhan. Sehingga akses menuju Gaza menjadi sangat terbatas, termasuk akses ekonomi bagi kepentingan warga Palestina di Gaza.

“Warga Muslim dan Kristen Palestina yang tinggal di Tepi Barat tidak mudah diberikan akses masuk ke Jerusalem. Jadi yang bisa shalat di Masjidil Aqsa hanya warga Palestina di Jerusalem dan para wisatawan dari luar Palestina,” kata Nasrallah, warga Jerusalem pegiat perjuangan dan kemerdekaan Palestina.

Namun jika kita tanyakan kepada pihak Israel kapan Solusi Dua Negara ini diwujudkan? Mereka akan kompak menjawab, saat ini sudah berdiri dua negara. Bahkan tiga negara: Israel, Palestina di Tepi Barat, dan Palestina di Jalur Gaza. Dan para pejabat serta akademisi Israel akan playing victim

bahwa mereka saat ini dikepung oleh duq negara Palestina sehingga bisa menjadi dalih untuk mengisolasi rakyat Palestina.

Saat artikel ini saya tulis, Al Jazeerah memberitakan, Israel terus gencar melancarkan serangan militer ke Jalur Gaza. Para pejuang Hamas dengan segala keterbatasan menyerang kota-kota di Israel dengan roket buatan sendiri. Tentu saja, ini perang yang asimetris. Persenjataan termasuk roket Israel yang canggih bukan lawan setimpal dengan senjata-senjata para pejuang Palestina. Namun, para pejuang Palestina, tidak pernah menyerah untuk menahan gempuran roket-roket dan artileri dari Israel.

Israel melunjak. Negara yang didirikan sepihak oleh politisi zionis pada 1948 ini, mencaplok tanah Palestina yang selama enam abad sebelumnya warga Arab Palestina (Muslim dan Kristen) dan warga minoritas Yahudi hidup damai di bawah Kesultanan Ustmaniyah.

Runtuhnya Kesultanan Ustmaniyah setelah kalah dalam Perang Dunia I, gerakan zionis yang menguat di Eropa dan didukung penuh oleh Inggris, serta kemenangan sekutu dalam Perang Dunia II, membuat arus masuknya warga Yahudi ke tanah Palestina tak terbendung lagi. Hingga akhirnya, sehari setelah berakhirnya British Mandate, tokoh zionis David Ben Gurion mendeklarasikan berdirinya negara Israel di tanah Palestina.

Ideologi zionisme menyebutkan “Land without People for People without Land.” Sayangnya, para zionis memilih tanah Palestina yang selama enam abad menjadi tempat tinggal yang penuh kedamaian bagi warga Arab Palestina. Dan jika keyakinan Netanyahu bahwa Israel adalah negara hanya untuk bangsa Yahudi, masihkah kita percaya bahwa saudara-saudara kita di Palestina bisa hidup damai selama negara zionis Israel masih berdiri di tengah-tengah mereka? (habis)

Penulis:

Tofan Mahdi adalah Wakil Pemimpin Redaksi Jawa Pos (2007) dan penulis buku ‘Pena di Atas Langit’. Pernah melakukan tugas jurnalistik ke wilayah konflik Palestina- Israel (2007)

Share

Ads