loader

Masyarakat Dataran Tinggi Selalu Hormati Alam

Foto

PALEMBANG, GLOBALPLANET - Direktur Yayasan Depati, Konsentrasi bidang hutan, lingkungan dan adat, Ali Goik menilai, tidak adanya tanda pembatas hutan lindung sebagai habitat harimau dengan perkebunan warga, mengakibatkan masyarakat tidak mengetahui areal hutan yang dilarang dimasuki atau digarap menjadi lahan perkebunan.

"Mungkin warga tidak tahu mana batasnya, karena gak ada batas alam, batas kawasan (hutan lindung). Saya sudah bicara dengan Kementerian Kehutanan, agar tulisan-tulisan terkait batas kawasan diperbanyak,"  katanya.

Menurutnya, masyarakat di kawasan dataran tinggi selalu menghormati alam dan hutan yang sudah ditetapkan sebagai hutan lindung atau apapun namanya. Ketika sudah ditetapkan masyarakat tidak akan berani melanggarnya. Berbeda dengan masyarakat dataran rendah yang mayoritas pendatang dari luar dan mereka tidak mengenal aturan adat yang ada. Contoh hutan dataran rendah perbatasan Jambi yang sekarang banyak dikuasi oleh pendatang dari luar provinsi.

“Untuk dataran rendah ini makanya kita getol mengkampanyekan hutan alam dataran rendah yang tersisa tersebut untuk tidak dirusak oleh jalan tambang,” kata Ali Goik dalam pernyataan tertulis, Kamis (2/1/2020).

Selain itu menurutnya, jaga alam jaga tradisi petuah adat dan petuah dusun atau pesan damai yang termuat di dalam UU Simbur Cahaya. Sampai sekarang petuah tersebut selalu ditaati oleh masyarakat yang berada di arel hutan dataran tinggi Sumatera Selatan.

"Masyarakat yang berada di wilayah Kabupaten Muara Enim, Lahat, Pagaralam, yang jadi persoalan sekarang wilayah tersebut banyak dirusak oleh investasi yang masuk tanpa memikirkan keseimbangan alam. Siapa saja akan marah kalau rumahnya dirusak dan diganggu termasuk binatang dalam hal ini harimau, rumah mereka sekarang dirusak oleh pertambangan batu bara, geothermal dan perkebunan, coba ketungul bute, lokasi geotermal dari bawah bukit, kita jalan menuju kesana  seolah olah tidak ada kalaupun ada  hanya jalan setapak, coba lihat di puncaknya sekarang sudah habis  dan rata dijadikan lokasi perkantoran dan perumahan bagi karyawan dan landasan helikopter,” katanya.

Sehingga menurut Ali, wajar kalau harimau marah karena tempat hidupnya dirusak, kerusakan hutan yang menjadi rumah dan penghidupan harimau sebenarnya harus disikapi secara serius oleh Pemerintahan Provinsi, pemerintahan Kabupaten dan Kota dengan menyetop pemberian izin bisnis ekstraktip  dan menegur pelaku usaha yang melanggar aturan.

“Info terakhir Bukit Kendipun sekarang lagi dibombardir oleh penguasa tambang, kalau keseimbangan alam terjaga tidak akan terjadi konflik antara manusia dan binatang, intinya jangan salahkan tuan rumah, tetap jaga alam jaga tradisi seperti yang tertuang didalam kitab Undang Undang Simbur Cahaya,” katanya.

Sebelumnya anggota Fraksi Partai Demokrat Ir Holda Msi meminta semua pihak terkait untuk menyikapi turunnya harimau di Pagaralam sehingga korban jiwa tidak bertambah.

“Mohon ini jadi perhatian, dan terus terang saja, foto dan videonya sudah dishare, kami mohon perhatiannya pihak Pemerintah untuk segera menindaklanjuti informasi yang didapat jangan sampai ini menelan korban lebih banyak lagi, “ kata Holda.

Sementara sosiolog Sumsel, Saudi Berlian menilai turunnya harimau dari Gunung Dempo  karena harimau tidak nyaman lagi disana dan kemungkinan lain karena makannya sudah habis.

“Sekarang coba, kawasan manusia itu masuk di kawasan hidup harimau, kita masuk di sana, harimau itu keluar,” katanya.

Karena itu menurut Saudi, harimau tersebut harus ditangkap oleh pihak terkait dan dikembalikan ke habitatnya, “Itu yang paling mudah, harimau itu hidupnya  alami dan berdasarkan naluri,” katanya.

Share

Ads