loader

Serangan Fajar dalam Pemilu

Foto

SERANGAN - fajar adalah membeli suara agar masyarakat terpengaruh dengan calon dan menyumbangkan suaranya kepada calon tersebut. Dengan upaya membagikan sebuah uang kepada masyarakat agar memilih calon pasangan.

Hal ini sangat berkaitan dengan money politic (Politik Uang) yang mana adanya bentuk pemberian atau suap menyuap kepada masyarakat. Di Indonesia itu ada yang dinamakan serangan fajar karena biasanya praktek dalam melakukan aksi tersebut itu di waktu pagi sebelum terbitnya matahari. Dan juga biasanya itu dilaksanakan pada saat dekat dekatnya waktu pemilihan.

Yang menjadi target atau sasaran dalam melakukan aksi ini biasanya masyarakat dari menengah kebawah, karena target dari masyarakat yang menengah kebawah itu mudah terpengaruh karena faktor kurang ny ekonomi. Sehingga bagi calon sangat mudah untuk mengimingi atau juga memberi harapan kepada masyarakat tersebut dengan tujuan masyarakat tersebut menyumbangkan suara nya.

Kejadian yang seperti ini tidak di perbolehkan dalam Pemilu karena bersangkutan dengan Money Politic  dan itu tidak diperbolehkan di Negara Indonesia sesuai dengan  Pasal 73 ayat 3 Undang Undang No. 3 tahun 1999 berbunyi:

“Barang siapa pada waktu diselenggarakannya pemilihan umum menurut undang-undang ini dengan pemberian atau janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu, dipidana dengan pidana hukuman penjara paling lama tiga tahun. Pidana itu dikenakan juga kepada pemilih yang menerima suap berupa pemberian atau janji berbuat sesuatu.

Oleh sebab itu himbauan kepada masyarakat agar masyarakat memilih calon pasangan yang benar benar memang sudah terlihat tanggung jawab dan juga amanah nya. Karena suap menyuap tidak di perbolehkan dalam negara maupun agama. 

Serangan fajar pun menjadi pelanggaran yang paling rawan dilakukan menjelang pemilu. Istilah ini sebenarnya sudah ada sejak lama, ketika masa pendudukan Inggris di Indonesia yang dipimpin oleh Thomas Stamford Raffles. Kala itu, Raffles memberlakukan sistem pemilihan kepala desa, yang langsung dipilih oleh masyarakat. Raffles juga mengeluarkan aturan yang disebut Inlandsche Gemeente Ordonnantie Biutengewsten (IGOB), yang mengatur regulasi pemerintahan desa.

IGOB merupakan buntut dari pecahnya Perang Diponegoro melawan Belanda. Kala itu, pasukan Diponegoro berusaha menghalangi tentara Belanda dengan merekrut pasukan baru di setiap desa. Setelah itu, Belanda memerintahkan seorang camat untuk membuat aturan pemilihan kepala desa dengan menggunakan aturannya.

Aturan yang dibuat Belanda adalah memilih orang yang tepercaya untuk memberikan suaranya dengan cara menyuap atau memberikan uang atau barang.

Sejak saat itulah, istilah politik uang dikenal di Indonesia. Umumnya, strategi ini digunakan untuk menarik simpati para pemilih dalam menentukan suaranya. Biasanya, politik uang digunakan dalam pemilu tingkat tinggi, seperti pemilihan presiden, DPR, DPRD, gubernur, bupati, atau wali kota. Biasanya, praktik politik uang tidak hanya dilakukan dengan cara memberi uang tunai, tetapi juga pemberian sembako (beras, minyak, gula).

Serangan fajar sudah dikenal luas oleh para pemilih dan peserta pemilu di Indonesia, sehingga Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) pun turun tangan. Langkah yang dilakukan Bawaslu adalah patroli dari tingkat kabupaten, kecamatan, desa, dusun, hingga tempat pemungutan suara.

Ada banyak strategi politik uang yang bisa dijalankan, salah satu cara yang paling umum dilakukan di Indonesia adalah serangan fajar. Pada umumnya, serangan fajar dilakukan menjelang pemilu dan menargetkan masyarakat menengah ke bawah. Biasanya, bentuk politik uang ini akan dilakukan pada pagi hari, itulah mengapa kemudian disebut serangan fajar. 

Pihak dari peserta pemilu akan melakukan kunjungan rahasia ke masyarakat untuk mendistribusikan uang dan kebutuhan sehari-hari sebelum berangkat ke tempat pemungutan suara (TPS). Selain itu, serangan fajar juga bisa dilakukan oleh tim kampanye sebelum masa kampanye dimulai.

 


Penulis : Achmad Widiyanto
Mahasiswa Jurmalisme Politik UIN Raden Fatah Palembang

 

 

Disclaimer: Artikel dan isi tanggung jawab penulis

 

Share

Ads