loader

Sistem Proporsional Terbuka dalam Pemilu di Indonesia   

Foto

SISTEM - proporsional terbuka adalah sistem perwakilan proporsional yang memungkinkan pemilih untuk turut serta dalam proses penentuan urutan calon partai yang akan dipilih. Sistem ini berlawanan dengan sistem proporsional tertutup yang hanya mengizinkan anggota partai yang aktif, pejabat partai, atau konsultan dalam menentukan urutan calon dan sama sekali tidak memberikan kesempatan kepada pemilih untuk memengaruhi posisi calon.

Selain itu, sistem terbuka mengizinkan pemilih untuk memilih individu daripada partai. Pilihan yang diberikan oleh pemilih disebut pilihan preferensi. Sistem pemilu proporisional berbasis suara terbanyak, telah bermakna dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya bermodal popular dan menjual diri tanpa ada ikatan ideologis dan struktur partai politik dan tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi partai politik atau organisasi berbasis sosial politik. 

Akibatnya, saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili organisasi partai politik namun mewakili diri sendiri. Oleh karena itu, seharusnya ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah mengikuti pendidikan politik, kaderisasi, dan pembinaan ideologi partai.

Sistem pemilu proporsional berbasis suara terbanyak akan melemahkan pelembagaan sistem kepartaian. Dalam praktiknya, calon anggota legislatif yang terpilih dalam pemilu berdasaekan sistem suara terbanyak tidak memiliki perilaku dan sikap yang terpola untuk menghormati lembaga kepartaian, lemahnya loyalitas pada partai politik dan tidak tertib pada garis komando kepengurusan partai politik.hal ini akan berakibat pada krisis kelembagaan partai politik dalam berbangsa dan bernegara.

Adanya sistem proporsional terbuka didasarkan pada Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tanggal 23 Desember 2008. Putusan tersebut diambil menggunakan standar ganda, yakni nomor urut dan suara terbanyak sehingga Mahkamah memutuskan mengabulkan pasal a quo. Apabila melihat sejarah pemilu di Indonesia sebelumnya, sebelum UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum menggunakan proporsional tertutup di mana pemilih hanya memilih partai politik karena sejatinya bedasarkan UUD 1945 kontestan pemilu legislatif adalah partai politik, kemudian partai politiklah yang menunjuk anggotanya untuk duduk di DPR dan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota. 

Oleh karena itu, dengan mengacu pada alasan-alasan yang kami terangkan di atas memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Selain itu, para Pemohon dalam petitumnya meminta agar Mahkamah menyatakan frasa “terbuka” pada Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

“Menyatakan frasa “proporsional” pada Pasal 168 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum  bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘sistem proporsional tertutup.

Sistem proporsional terbuka tidak mengurangi hak partai politik dalam menentukan seleksi caleg dan membuat nomor urut caleg. Meskipun caleg merupakan perseorangan tetapi tetap bernaung dalam parpol sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 241 ayat (1) dan (2)  UU 7/2017 yang menyatakan partai politik peserta pemilu melakukan seleksi bakal calon anggota DPR, DPR Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota serta bakal calon dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai anggaran dasar, anggaran rumah tangga, dan/atau peraturan internal parpol peserta pemilu. Sehingga parpol memiliki kewenangan penuh dalam menentukan seleksi caleg dan membuat daftar nomor urut caleg termasuk menentukan siapa yang layak untuk dipilih yang juga merupakan kader terbaik partai yang telah diseleksi oleh partai. 

 

Penulis: Risalatul Khasanah
Mahasiswi Program Studi Ilmu Politik UIN Raden Fatah Palembang

 

Disclaimer: Artikel dan isi tanggung jawab penulis

 

Share

Ads