DALAM - sebuah negara yang demokratis ialah seberapa besar negara melibatkan masyarakat di dalam perencanaan maupun pelaksanaan pemilu. Disebabkan partisipasi masyarakat (pemilih) merupakan aspek penting dari sebuah tatanan Negara yang demokrasi.
Dalam hubungannya dengan demokrasi, partisipasi politik tersebut dapat berpengaruh terhadap legitimasi oleh masyarakat terhadap jalannya suatu pemerintahan. Misalnya dalam pemilu partisipasi politik sangat berpengaruh terhadap legitimasi di masyarakat kepada calon atau pasangan calon yang akan terpilih.
Kedudukan masyarakat memiliki preferensi dan kepentingan masing-masing untuk menentukan pilihan mereka dalam pemilu. Dapat dikatakan bahwasanya masa depan pejabat publik yang akan terpilih dalam suatu Pemilu. Tergantung pada preferensi masyarakat sebagai pemilihnya.
Bukan hanya itu, partisipasi masyarakat dalam Pemilu dapat dipandang sebagai evaluasi dan Kontrol masyarakat terhadap pemimpin atau pemerintahan. Negara tanpa adanya partisipasi masyarakat cenderung otoriter dan sentralistik.
Contohnya pengalaman politik pada saat massa orde baru yang memperlihatkan kewenangan para pengambil keputusan politik dalam setiap perumusan kebijakan maupun perencanaan programnya. Dampak akibatnya kebijakan atau yang diputuskan itu kerap tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Partisipasi masyarakat merupakan bentuk pemberian diri baik dalam bentuk keikutsertaan, kehadiran, gagasan, keterlibatan dalam perumusan kebijakan dan pemberian diri dalam pengawasan kebijakan itu hendak diimplementasikan. Partisipasi masyarakat terhadap Pemilihan Umum juga sangat menentukan arah dan kemajuan dari suatu bangsa.
Kualitas partisipasi masyarakat akan sangat ditentukan apakah semua masyarakat yang telah memenuhi wajib pilih dapat memberikan suaranya, apakah masyarakat diberikan akses atau kemudahan dalam memilih serta apakah masyarakat dapat memilih pemimpin yang benar-benar dianggap berkualitas yang di dasarkan pada keyakinan dan kepercayaan para calon yang ia pilih.
Permasalahan dalam pemilu sesungguhnya bukan hanya sebatas karena proses teknisnya yang sering ditemui banyak pelanggaran tetapi permasalahan utamanya ialah adalah hasil atau substansi dari pemilu masih jauh seperti yang diharapkan. Hasil akhir yang sesungguhnya diharapkan dari pemilu adalah melahirkan para pemimpin yang ideal.
Tetapi nyatanya selama ini bahwa selain proses dari pelaksanaan masih terbilang bersifat amatiran dan tidak profesional, anggota legislatif terpilih yang dihasilkan lewat proses pemilu masih dianggap punya kualitas yang rendah, mulai dari keterbatasan profesionalisme kepemimpinan, bermasalah secara hukum serta tidak adanya kemajuan di daerah yang dipimpinnya sampai saat mengakhiri jabatannya.
Salah satu penyebab dari kelemahan pemilu lebih disebabkan oleh regulasi itu sendiri. Di dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang pemilihan anggota DPR RI, DPD dan DPRD menyebutkan bahwasanya syarat untuk menjadi calon anggota legislatif ialah harus foto kopi KTP yang masih berlaku serta paspor bagi bakal calon yang bertempat tinggalnya di luar negeri. Dan juga menyertakan pula surat pernyataan berusia 21 tahun, bertaqwa kepada Tuhan YME, cakap bicara, membaca, menulis dalam bahasa Indonesia serta setia kepada Pancasila, UUD 1945 dan Cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.
Persyaratan diatas hanya terbatas pada ketentuan normatif tentang persyaratan calon legislatif, bukan pada ketentuan persyaratan substantif. Untuk melahirkan pemimpin yang berkualitas hendaknya sudah dimulai dari regulasi yang mengaturnya. Harus ada aturan yang tidak hanya mencantumkan syarat-syarat yang bersifat formal normatif sebagaimana ketentuan diatas tetapi harus juga menyaratkan persyaratan khusus terutama soal pengalaman tentang kepemimpinan.
Proses rekrutmen calon anggota legislatif (caleg) sebagaimana pengalaman beberapa kali Pemilu di Indonesia sangat memperihatinkan. Parpol tampaknya tidak peduli dengan kapasitas maupun profesionalisme caleg pada saat melakukan perekrutan dan yang biasanya dipikirkan adalah besarnya peluang keterpilihan caleg yang bersangkutan. Parpol termotivasi bahwa kebesaran sebuah parpol bukan ditentukan pada kualitas tetapi ditentukan oleh berapa perolehan suara atau kursi yang akan diperoleh dalam sebuah ajang pemilu.
Ternyata hal inilah yang akan kemudian menjadi sebab bahwa parpol lebih penting mengutamakan merekrut masyarakat untuk menjadi caleg yang berpeluang menang meski minim dalam pengalamannya kepemimpinan menjadi caleg. Sedangkan di pusat, kebanyakan yang direkrut ialah para artis dan pengusaha. Dan di daerah yang paling banyak direkrut adalah kebanyakan keluarga para pejabat di daerah ataupun pengusaha dari luar daerah. Tentu bukan sebuah permasalahan apabila mereka-mereka itu punya kapasitas dan pengalaman kepemimpinan.
Selain memperkuat regulasi Pemilu maka hal yang perlu dibenahi pula adalah Penguatan kelembagaan penyelenggara Pemilu. Pengalaman di sejumlah daerah, tidak berkualitasnya proses penyelenggaraan pemilu lebih disebabkan karena belum profesionalnya penyelenggara pemilu itu sendiri terutama pada level panitia. Penyelenggara di level ini kerap juga tidak memiliki pengalaman dalam kaitan dengan pekerjaan yang dihadapinya.
Di dalam Pencalonan yang dilakukan pada saat proses pemilu sudah sedang berjalan menjadi salah satu sebab keterbatasan pengalaman mereka. Dalam beberapa kasus, sudah dilakukan pencoblosan di TPS, tapi penyelenggaranya belum sempat mengikuti bimbingan teknis (Bimtek) penyelenggaraan pemilu, sehingga tugas pokok dan fungsinya dilakukan seadanya.
Berdasarkan uraian di atas menyebutkan salah satu faktor penyebab masyarakat tidak berpartisipasi adalah lemahnya sosialisasi panitia kepada masyarakat terkait ketentuan pemberian suara oleh masyarakat. Serta kebanyakan sebagian masyarakat masih menganggap bahwa ketentuan bagi pemilih adalah menunggu undangan tertulis dari panitia.
Penulis: Kgs Ahmad Syukri
Mahasiswa FISIP UIN Raden Fatah Palembang
Disclaimer: Artikel dan isi tanggung jawab penulis