SUDAH - tidak asing dengan adanya politik uang di kala menuju pemilihan umum atau bisa dikatakan sebuah kelaziman. Namun jarang tersedia di dalam laporan resmi penyelenggara atau pengawas, hal tersebut hanya ada pada ingatan masyarakat yang menyaksikan secara langsung. Belum lagi menuju pemilu serentak tahun 2024, politik uang merupakan salah satu jalan untuk mendapatkan suara.
Immawan Wahyudi, mantan anggota DPRD dan dua periode menjabat sebagai Wakil Bupati Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta mengungkapkan pandangannya di diskusi pusat Studi Hukum Konstitusi di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta pada Selasa (17/12/2022). "Meskipun dengan semangat suara terbanyak untuk mencari figur yang ideal pada praktiknya kembali kepada semangat NPWP nomornya piro wanine piro (nomor berapa berani membayar berapa)"
Immawan menceritakan tentang pengaruh politik uang dalam pemilu. Rekan Imawan mencalonkan diri melalui salah satu partai, ia tidak mendapatkan satupun suara dari sebuah kampung padahal di kampung tersebut terdapat tim sukses yang mendukung calon itu. Begitu besar pengaruh uang bahkan tim sukses saja tidak mencoblos calon yang didukungnya karena telah menerima uang dari calon lain. Praktik politik uang adalah persoalan paling mendasar, meskipun sistem pemilihan diubah dari proposional terbuka menjadi tertutup politik uang akan tetap merajai praktik di lapangan.
Adapun ancaman atau tindakan dalam kasus politik uang ini telah tertera pada pasal 187A Undang -Undang Nomor 10 Tahun 2016, baik penerima maupun yang memberi akan mendapatkan ancaman pidana namun kekurangan dalam hal ini ialah sisi pembuktiannya. Jika ada laporan tindak pidana politik uang pada Bawaslu sudah dapat dipastikan si penerima tidak akan mengaku bahwa ia telah menerima sejumlah uang dari kandidat.
Ratna Dewi, Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mengatakan dalam salah satu Webinar Politik Uang pada Kamis (9/2/2023), "Politik uang kini merambah sampai pada penyelenggaraan pemilu. ini menjadi hal yang penting bagaimana melakukan pencegahan, penindakan dan pemberian sanksi."
Peran DKPP sangat besar dalam pencegahan politik uang di kalangan penyelenggara. Sebagai contoh DKPP menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap pada anggota KPU Prabumulih yang terbukti menerima uang dari salah satu calon legislatif dengan menjanjikan suara sebanyak 20.000. Politik uang sudah dianggap lumrah oleh masyarakat. Hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) 2019, sebanyak 48 % masyarakat menganggap bahwa hal itu biasa.
Sudah banyak kasus-kasus yang terlibat dalam politik uang Indonesia, mulai dari kasus suap DPR tahun 2014, kasusu E-KTP, kasus pemilihan kepala daerah, kasus pemilihan umum serta kasus pemberantasan korupsi. Dapat dilihat dari beberapa kasus tersebut bahwa politik uang tidak akan pernah lepas dalam suatu hal yang berbau politik.
Pemerintah Indonesia telah melakukan beberapa upaya untuk melawan politik uang, termasuk pembentukan lembaga-lembaga khusus seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun, masih banyak tantangan yang harus diatasi untuk mengatasi masalah ini sepenuhnya.
Diperlukan komitmen yang kuat dari semua pihak, termasuk pemerintah, partai politik, pemilih, dan masyarakat sipil, untuk melawan politik uang secara efektif. Langkah-langkah penting yang dapat diambil termasuk penegakan hukum yang tegas terhadap praktik korupsi, peningkatan transparansi dalam pembiayaan kampanye politik, pendidikan pemilih yang lebih baik, dan penguatan lembaga-lembaga pengawas dan penegak hukum.
Mengatasi politik uang bukanlah tugas yang mudah, tetapi dengan komitmen dan kerjasama yang tepat, Indonesia dapat bergerak menuju proses politik yang lebih adil, transparan, dan berintegritas.
Penulis : Siti Mikailah Shavira
Mahasiswi FISIP UIN Raden Fatah Palembang
Disclaimer: Artikel dan isi tanggung jawab penulis