RAKYAT - Indonesia akan menggelar pesta demokrasi Pemilu 2024 yang terdiri atas Pilpres dan Pileg pada Februari 2024, dan Pilkada serentak di akhir 2024. Pemilu serentak ini adalah pertama dalam sejarah RI dan menyedot anggaran hingga Rp76 triliun. Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan mengatur semua dana kampanye di Pemilu 2024, termasuk jika ada sumbangan dalam bentuk uang elektronik.
Hal tersebut akan diatur dalam aturan yang dirumuskan KPU. "Sebelumnya hal ini belum diatur," kata komisioner KPU Idham Kolik pada pemaparan uji publik Rancangan Peraturan KPU tentang Dana Kampanye Pemilihan Umum di Jakarta. Ia menjelaskan hal tersebut sebagai salah satu upaya KPU dalam menyesuaikan perkembangan zaman dan teknologi.
Salah satu jenis transaksi uang elektronik yang disoroti yaitu pengiriman dana hanya berbasis nomor telepon, bukan dari rekening bank seperti yang sudah lumrah terjadi saat ini. Komisioner KPU yang lain Mochammad Afifuddin mengatakan setiap sumbangan, termasuk uang elektronik yang diterima pasangan calon wajib dilaporkan. Tapi teknis pelaporan tersebut belum dibahas lebih jauh. "Jadi yang penting sumbangan-sumbangan itu tercatat. Tapi teknisnya belum kami bahas," kata Afifuddin. Ia juga menambahkan pihaknya menyerahkan pengawasan uang elektronik sebagai sumbangan dana kampanye ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Pemilu 2024 bukan hanya sebagai bagian dari rutinitas pesta demokrasi lima tahunan dalam rangka melakukan pergantian para calon pemimpin baik di tingkat legislatif maupun eksekutif. Namun, lebih dari itu pemilu pada tahun depan diharapkan akan terpilih pemimpin dan wakil rakyat yang berpihak pada masyarakat lemah, menguatnya pemilih muda yang cerdas, anti politik uang dan menguatkan politik dan diskursus di era demokrasi.
Hal itu mengemuka dalam Diskusi Pojok Bulaksumur yang bertajuk Pemilu 2024: Antara Penegakan Hukum dan Keberpihakan Ekonomi, Jumat (26/5), di selasar timur Gedung Pusat UGM. Diskusi yang diselenggarakan oleh Humas dan Protokol UGM ini menghadirkan tiga orang narasumber yakni Sosiolog Politik UGM, Dr. Arie Sujito, Ketua Pusat Kajian Demokrasi Konstitusi, dan HAM FH UGM, Dr Yance Arizona, dan Ekonom FEB UGM, Dr. Dumairy.
Sosiolog UGM, Arie Sudjito mengatakan penyelenggaraan pemilu 2024 seharusnya bisa lebih baik dibandingkan pemilu sebelumnya. Sebab, idealnya setiap penyelenggaraan pemilu memiliki terobosan baru seperti menguatkan diskusi dan kontestasi politik, adu gagasan bukan sebaliknya munculnya politik uang, depolitisasi, oligarki politik dan politik identitas. Namun, dalam beberapa tahun belakangan ini, depolitisasi semakin menguat di kalangan antar partai. “Depolitisasi melahirkan pemilu jadi agenda rutinitas. Mari kita kembalikan pertarungan antar partai itu bukan lagi konspirasi membentuk blok politik tapi bertarung ide/gagasan.
Arie mengkritisi KPU sebagai penyelenggara pemilu terjebak pada hal teknis dan prosedural, namun tidak menguatkan kualitas pemilu dengan melakukan edukasi ke calon pemilih muda, edukasi larangan politik uang hingga mencegah terjadinya kampanye politik identitas. “Jika pemilu terus begini, yang terjadi hanya pergantian formasi, pergantian orang dan rutinitas. Pemilu kita terjebak pada rutinitas, terjebak pada teknokrasi,” paparnya.
Selain itu, Arie juga mengkritik bahwa partai selama ini tidak menguatkan perannya dalam melahirkan calon pemimpin berkualitas, namun berebut mencari aktor politik dari kalangan pengusaha atau mantan tentara yang berasal dari luar partainya. “Seharusnya di era reformasi, peran partai itu menguat dalam melahirkan calon pemimpin bangsa. Elite politik kita harus keluar dari zona nyaman dari rutinitas pemilu ini,” tegasnya.
Sementara Yance Arizona menilai pemilu 2024 sepertinya tidak akan menjawab harapan masyarakat untuk menguatkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia meski ada partai yang kampanye anti korupsi, namun seperti sebelumnya justru saat berkuasa para elite dan kadernya melakukan praktik korupsi. Tidak hanya di tingkat partai, Yance juga menilai lembaga pemberantasan korupsi seperti KPK sekarang ini dilumpuhkan perannya sebagai lembaga antirasuah di Indonesia. “Sekarang KPK sebagai punggawa pemberantasan korupsi tidak seperti dulu lagi, sudah kehilangan kemampuan untuk melakukan kontrol,” ujarnya.
Sedangkan ekonom senior FEB UGM, Dumairy, mengatakan keberpihakan politisi dan partai pada kelompok yang lemah pada petani dan nelayan sangat sulit diwujudkan sepanjang transaksi politik uang antara calon pemimpin dengan pemilih masih saja berlangsung.”Kita tidak bisa berharap banyak, apapun yang dikampanyekan caleg dan calon pemimpin. Kita masih terperosok dalam lubang yang sama dalam setiap pemilu,” katanya.
Penulis: Raja Givbran Afrilia
Mahasiswa FISIP Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang
Disclaimer: Artikel dan isi tanggung jawab penulis