JAKARTA, GLOBALPLANET.news - Kita tarik mundur, sekira sepekan sebelum tanggal 16 Januari 2021 hari saat kami terkonfirmasi positif covid-19. Hari itu, istri tampak lelah dan letih, tidak ceria seperti biasanya. Tidak karaoke, tidak Tik-Tok’an, tidak foto-fotoan, tidak ngajak makan di luar, juga tidak menengok dan menyiram tanaman-tanaman asuhannya di depan rumah. Bahkan tidak keluar kamar. Kebiasaan yang tidak biasa.
Selama sepekan itu, ada beberapa kegiatan yang kami lakukan di luar rumah. Mulai pertemuan dengan saudara, ketemu sahabat yang datang dari Malang, ngopi dengan beberapa teman dan kolega, menghadiri resepsi pernikahan, juga staycation di beberapa hotel di Jakarta. Tentu saja, selama melaksanakan aktivitas ini, saya selalu mengingatkan istri dan anak-anak agar selalu memakai masker dan menjaga jarak. Ketat saya menjaga protokol kesehatan.
Hingga suatu malam, di dalam kamar, istri menunjukkan sesuatu. “Ayah, leherku koq banyak muncul bercak merah ya. Dewi Persik juga kayak gini pas dia kena covid, malah sampai ke wajah. Jangan-jangan covid ya Yah.”
Saya memjawab santai, malah sambil guyon. “Bisa jadi Ma, mungkin kalau orang Jember kena covid, gejalanya begitu. Kulitnya keluar bercak merah. Kalau orang Pasuruan beda, pusing saja,” guyon saya. Istri tersenyum datar. “Gak lucu ah”.
Usai menghadiri acara pernikahan di Bekasi, saya lihat istri tampak sangat lelah dan menggigil. Perutnya terus mual. Nah hari itu, kepala saya juga mulai nggliyeng. Makan juga mulai tidak enak. Kami makan secukupnya dan kemudian mencoba tidur, tidak nyenyak pastinya.
Sejak merasakan tidak enak badan beberapa hari sebelumnya, istri sudah melarang anak-anak mendekat, bahkan melarang masuk kamar kami. Saya yang belum merasakan gejala apa-apa, tetap tidur di kamar yang sama. Mungkin yang dialami istri adalah demam biasa, jauh kepikiran bahwa itu adalah corona.
Namun karena kondisi istri yang tak kunjung membaik dan saya juga mulai pusing, demam dan mual, kami pun sepakat melakukan swab antigen di RS dekat rumah, saya minta kedua anak saya melakukan hal yang sama. Dua jam setelah swab, sebuah email masuk. “Saya dan istri positif, anak-anak negatif.” Meski tahu bahwa swab antigen ini akurat, kami tetap melalukan PCR. Dan hasilnya sama.
Malam itu, dunia seakan runtuh. Istri saya mencoba tenang, pun saya mencoba tenang, tidak sepenuhnya bisa. Saya ajak istri shalat Isya’ berjamaah dan berdoa untuk kesehatan kami dan keluarga. Rasanya tidak percaya kami yang sejak pandemik pada Maret 2020 sudah sangat ketat menjaga protokol kesehatan, akhirnya kena juga. Kenanya pun berdua.
“Ayah dan Mama positif, kalian negatif. Jadi sekarang kalian yang in charge ngurusi rumah. Mbak kita minta tidak bekerja dulu. Jangan masuk ke kamar Ayah ya karena mulai malam Ini kita isolasi,” jelas saya ke anak-anak via video call.
Malam itu kami benar-benar tidak bisa tidur. Hingga jam 3 dini hari. Kami shalat Tahajud, usai shalat tetap tidak bisa tidur. Tampaknya, bukan hanya tubuh kami yang kena, virus corona ini juga langsung menyerang batin dan pikiran. Kami shock, stress, apa yang akan terjadi nanti, berhasilkah melewati semua ini? Kami bersyukur masih memiliki iman, meyakini bahwa sakit ini datang dari Allah dan Allah juga lah nanti yang akan memberikan jalan keluar. Kita hanya diminta untuk berusaha (ikhtiar) terbaik dan tawakal.
Di sinilah pertarungan yang sesungguhnya bukan sekadar perlawanan fisik melawan virus corona. Tetapi juga pertarungan batin dan pikiran. Seorang teman dokter mengatakan, kemenangan batin dan pikiran akan sangat menentukan kemenangan kita melawan covid-19. Benarkah demikian? (Bersambung)
(tofan.mahdi@gmail.com)