PALEMBANG, GLOBALPLANET - Herlan Kagami, Kasi Lahan, Kebakaran, Gangguan Usaha dan Konflik Perkebunan Dinas Perkebunan Provinsi Sumsel mengatakan, akar permasalahan gambut terbakar, 90 persen oleh manusia dan sisanya di luar manusia (faktor alam)
"Lahan yang mestinya tergenang terendam oleh air tiba-tiba dia hilang dengan sengaja menghilangkan. Dia bisa kering, kemungkinan bisa jadi penyebabnya, lahan gambut diberikan izin kepada pemegang konsesi untuk membuat aktifitas budidaya. Sehingga gambut terganggu dan mudah terbakar," jelas Herlan dalam Zoom meeting yang digelar ICRAF, Selasa (29/9/2020).
Oleh karena itu, di luar upaya mitigasi seperti water boombing untuk memadam kebakaran lahan gambut. Menurutnya, pembinaan perilaku dan mental manusia mesti menjadi prioritas dalam upaya pengurangan risiko bencana kebakaran hutan dan lahan.
Masyarakat perlu dilibatkan dengan cara memperbaiki sikap dan perilaku. Budaya tidak tertib harus dihilangkan. Dengan demikian, upaya utama pengurangan risiko bencana justru bukan pembangunan infrastruktur kebencanaan, tetapi segala upaya untuk membentuk karakter manusia Indonesia yang tertib.
"Perlu juga mengedukasi perilaku masyarakat sekitar yang tinggal di lahan gambut. Memang membutuhkan waktu panjang karena berkaitan dengan mengubah mental dan perilaku. Bahkan upaya lain di lapangan satgas do'a pun kami bentuk, untuk melantunkan Al-Fatihah agar tidak terjadi kekeringan," tandasnya.
Herlan menambahkan, perkebunan sawit atau pemilik kebun sawit seringkali menjadi kambing hitam atas musibah kebakaran lahan. Padahal yang terbakar biasanya adalah lahan yang tidak produktif dan tanpa izin.
"Seringkali kita berbeda anggapan, ketika yang terbakar di luar konsesi perkebunan banyak orang berpikir itu adalah ulah yang punya sawit, itu salah. Padahal, kondisi lahan yang memiliki izin seperti perkebunan kelapa sawit sangat jauh kemungkinannya untuk terbakar. Makanya saya mengajak juga kesetaraan pemilik konsesi agar bersama-sama masyarakat memadamkan api jika terjadi kebakaran," tegasnya.
Sementara Ketua Forum Daerah Aliran Sungai (FORDAS) Sumsel, Dr Syafrul Yunardy menambahkan, lahan gambut memiliki fungsi hidrologis. Korelasinya yang kuat membuat lahan gambut berfungsi sebagai penyangga nahi hutan dan lahan di sekitarnya.
"Gambut dapat menjamin pemakai air mendapatkan sumber air baku yang kualitas airnya memenuhi standar kesehatan. Gambut juga jadi suatu ekosistem di hilir, jika sedimen aliran sungai matang akan berkontribusi dengan hutan dan lahan. Karenanya, apabila kita bisa memitigasi dengan baik kita bisa terhindar dari karhutla," jelasnya.
Dalam hal ini FORDAS Sumsel telah mengambil langkah inisiasi untuk melindungi ekosistem lahan gambut salah satunya membuat perda perlindungan ekosistem Gambut Sumsel, yang akan menjadi landasan pengaturan pemeliharaan lahan gambut.
"Perda ini perlu dibuatkan juga turunannya menjadi Pergub dan Perbup agar menjadi pedoman regulasi bagi daerah. Kemudian juga kami akan mengintegrasikan program-program Fordas Sumsel dengan beberapa CSR dalam skema di areal lahan-lahan yang terbakar," ujarnya.