BAGAIKAN - Begitu memprihatinkan sikap seperti ini, usai ditebang dan digunduli pohon-pohon hutan yang usianya ratusan tahun dijadikan balok-balok kayu dalam sekejap menjadi papan. Dan bumi merintih dalam sengatan mentari yang datang bertubi-tubi. Tiada lagi pelindung diri, tiada lagi daun, pohon dan akar penyampai sejuknya hujan disiang hari. Padahal kita semua tahu bahwa kelestarian hutan adalah titipan anak cucu kita.
Diawali Nasib Petani Kopi
Sudah demikian galibnya, ladang berpindah yang kian memperluas hutan dirambah. Terlihat sebagian warga mengurus ladangnya dengan sungguh-sungguh, sementara sebagian lagi menggarap dengan acuh tak acuh. Di beberapa tempat terlihat pohon-pohon kopi tumbuh subur yang setiap musim terlihat memutih oleh bunga kopi bagaikan hamparan salju. Petanipun memandang gairah, mengharap bunga menjadi buah. Berdoa selalu di atas sajadah agar bila panen nanti buahnya medok dan harga jualnya elok. Begitulah harapan dan impian petani, sederhana dan tepat mengena. Rasanya sedih jika mengenang sebuah lagu dari daerah Lahat Pagar Alam, sering didendangkan oleh para perjaka yang telah puluhan tahun menjomblo. Judulnya saja berkutat tentang “nasib petani kopi” yang dalam bahasa daerah disebut “kawe”.
Dalam sebuah bait syairnya dikatakan, saat panen kawe dilanda sedih karena harga kawenya jatuh, alias tidak berharga secara wajar. Rencana melamar sidia pujaan hati menjadi buyar, impian mengakhiri predikat jomlo pun menjadi bubar. Tragis memang, tapi itulah kenyataan sehingga membuat syair kehidupan semakin indah ditangan seniman.
Lahan Tidurpun Menjamur
Gara-gara aspek harga yang selalu dipermainkan para tengkulak, tak jarang membuat petani kopi kehilangan gairah. Sementara hutang kepada para tengkulak kian membengkak dan kebun kopipun berangsur luput dari sentuhan bajak. Secara perlahan sang perjaka yang patah hati karena gagal panen dan gagal pula jadi temanten, mencari pelarian kedesa tetangga untuk ambil upahan agar hidup tetap terus tersangga. Kebun kopi yang dulu digarap penuh harap, hanya meninggalkan janji tak bertepi. Kebun seluas dua bidang dikampung terpaksa ditinggal merantau yang tiada pasti kapan akan kembali.
Perjaka yang gagal sehingga kebun ditinggal adalah sebuah gambaran, betapa indah hidup ini jika dilanda kasmaran yang dapat membuat hidup gairah dan semangat. Menjadikan semakin mahalnya cita-cita jika serlalu didera cobaan. Kebun yang dulu selalu jadi perhatian kini mulai ditinggalkan dan dilupakan karena kesibukan. Tinggallah yang tinggal, pohon-pohon kopipun mulai bersaing mencari makan, adu cepat dengan ilalang, semak yang berangsur membelukar. Dan siang bertemu malam, malampun bertemu siang. Hari demi hari, bulan berganti dan tahunpun ikut menyambangi. Tertutuplah pintu rezeki dikebun kopi, lahan tidurpun menjadi sehingga menyenangkan sarang babi.
Petani Cabai Boleh Gigit Jari
Saat harga cabai di kota-kota besar kian meroket, pedas terasa kian merobek dompet maka “lahan tidur”pun bagai memelet sehingga gerakan menggarap lahan tidur jadi telolet-telolet. Di desa-desa Semende dan Tunggul Bute juga demam bertani. Lahan tidur yang terbujur di sepanjang jalan kelokasi geothermal PT Supreme Energy Rantau Dedap pun mulai disentuh. Sebuah gerakan yang terobsesi secara simultan sejenak melupakan warga petani untuk tidak lagi merambah hutan. Mereka mulai mengenal jenis-jenis cabai, dari yang keriting, rawit bahkan kian populernya cabai setan.
Harga pupuk kandang kian melenggang, order ratusan karung membuat ayam-ayam buras dipaksa berak kapur sehingga marak pula pupuk kandang oplosan dengan harga Rp14 ribuan per karung kecil. Di mana-mana, dimarkas lahan tidur yang telah siuman aroma menyengat dari kotoran ayam menebar pesona bagi udara yang terpolusi. Petani lokal dan pendatang berlomba adu trampil agar tanaman cabai di kebunnya memberikan hasil. Dalam seratus hari yang dinanti sang buahpun hadir di setiap ujung tangkai nan gemulai, hijau pada awalnya, kecil pada mulanya terus bermandi hujan dan mentari silih berganti. Cabai - cabai itupun mulai merah, ranum dan matang bersamaan hadirnya para tengkulak yang mencari lokak. Intervensi pasarpun terjadi, lagi-lagi membuat petani cabai kehilangan percaya diri dan lantas tenggelam dalam sahwat tengkulak yang menggelegak dengan statement serentak : harga jatuh pak, sekarang cuma dihargai sekilonya 7 ribu perak. Tragis amat nasib petani, sudah jatuh tertimpa tangga telek ayam pula.
Perlunya Kebersamaan
Di setiap kabupaten kota, semua kita tahu ada institusi negara yang wajib peduli pada nasib petani. Ada yang disebut dinas pertanian, koperasi (tani/nelayan) dan dinas perdagangan/ perindustrian. Kita yakin bahwa institusi-institusi ini memiliki program untuk membela petani, bukan saja memberi bantuan bibit, penyuluhan agar hasil produksi bagus, tapi teramat penting adalah membantu agar mereka tidak jatuh ke tangan tengkulak. Di mana pada sektor pertengkulakan ini hidupnya lebih makmur, membiarkan hidup para petani menjadi tua renta karena terjemur. Sangat memprihatinkan, karena di benaknya tentu mengharap agar harga - harga ada jaminan dan kepastian sebagai pelipur lara dalam deraan hujan dan kepanasan
Kebersamaan adalah kata kunci untuk menyelamatkan petani. Sebagaimana di sektor pertamben ada BUMN-BUMN yang mengayomi usaha-usaha kecil yang relevant, tentu di sektor pertanian, perdagangan terbuka lebar untuk menghadirkan BUMN atau sejenisnya yang mampu menyerap hasil produksi petani yang kini semakin menggeliat tapi prihatin yang terlihat.
Penulis : HM Goerillah Tan, Pemerhati Lingkungan