MEDAN, GLOBALPLANET.news - Hal itu diungkapkan Reza Indriadi, Direktur PT Palma Inti Lestari, dalam webinar SAMADE's Week bertajuk "Pengenalan Varietas Unggul Kelapa Sawit" yang digelar DPP Asosiasi Sawitku Masa Depanku (SAMADE) bekerjasama dengan Gamal's Institute.
PT Palma Inti Lestari adalah perusahaan perbenihan sawit yang berkedudukan di Provinsi Riau. Perusahaan ini menjadi satu dari 19 perusahaan perbenihan di Indonesia. Paparan Reza sendiri berjudul "Peranan Penelitian Pemuliaan Tanaman dalam Meningkatkan Produktivitas Kelapa Sawit".
Reza Indriadi mengungkapkan, banyak faktor yang membuat serapan kecambah sawit yang berkualitas dan tersertifikasi tidak terserap dengan baik dan masif. Namun bila faktor harga dijadikan alasan benih sawit berkualitas tidak dilirik oleh stakeholder sawit, Reza Indriadi justru membantahnya. Ia lalu membuat perbandingan investasi benih selama 25 tahun antara harga benih jagung hibrida, ubi kayu, dan kelapa sawit.
Kata Reza, perbandingan biaya investasi benih jagung hibrida yakni Rp 75.000 x 15 kg/ha/rotasi x 3 rotasi/tahun x 25 tahun = Rp 84.375.000. Lalu, benih ubi kayu Rp 800/stek x 3.300 stek/ha/rotasi x 1 rotasi/tahun x 25 tahun = Rp 66 juta. "Sementara kelapa sawit Rp 6.750/kks/ha/rotasi x 1 rotasi/25 tahun, maka total investasinya adalah Rp 1.350.000," ujar Reza Indriadi.
Tak hanya itu, Reza dalam paparannya juga mengungkapkan bahwa dalam kurun waktu 70 tahun terakhir, perbaikan kualitas tandan buah segar (TBS) di Idonesia relatif melambat. Ia mencontohkan TBS di salah satu perkebunan sawit di Sumatera Timur (kini Provinsi Sumatera Utara) yang beratnya mencapai 79 kg.
Lalu dibandingkan dengan TBS milik Sugiarto, salah satu petani sawit yang tergabung dalam KUD Subur Makmur di Provinsi Jambi. "Saat itu tahun 2017, diketahui berat TBS milik Pak Sugiarto mencapai 85,02 kilogram. Artinya, selamalebih 70 tahun hanya terjadi sedikit penambahan berat TBS," kata Reza Indriadi.
Sementara itu Dadang Afandi SP M.Agr selaku Senior Oil Palm Breeder PT Socfin Indonesia memaparkan sejumlah alasan kenapa perusahaan dan petani sawit harus menggunakan kecambah yang diproduksi oleh Socfindo. Selain berkualitas dan memiliki produksi yang tinggi, Dadang menyebutkan kecambah yang diproduksi Socfindo juga digunakan di banyak perkebunan sawit di mancanegara.
Ia juga memaparkan kalau Socfindo telah menggunakan sistem barcode melalui android yang memungkinkan mekanisme produksi kecambah berkualitas bisa dikontrol dengan sangat ketat. Setelah paparan kedua pembicara, webinar SAMADE's Week itu dilanjutkan dengan sesi diskusi di antara para peserta dan pembicara.