DUA ISTILAH - Yang dijadikan slogan oleh partai politik adalah tentang “Perempuan dan politik”. Ada sejarah panjang dominasi laki-laki terhadap perempuan dalam struktur dan tatanan kehidupan manusia, ternyata dalam hirarki tersebut laki-laki diprioritaskan karena
mereka lebih banyak terlibat dalam kehidupan sosial dibandingkan perempuan yang menduduki peringkat sebagai Manusia Kedua (The Second Human Being).
Wanita secara historis dipandang sebagai pelengkap laki-laki atau keutungan bagi laki-laki, dari pada sebagai makhluk penting. Wanita merasa tertantang untuk maju dan memasuki lingkungan (tempat) yang lebih besar selama persepsi otoritas secara konsisten yang diasosiasikan dengan maskulin.
Konsekuensinya, agar perempuan dapat berekembang tidak disitu-situ saja yaitu dengan mengubah algoritma bahwa yang harus diubah adalah pikiran tentang kekuasaan. Dan sudah saatnya posisi kekuasaan dalam partai politik yang tadinya dominan dengan maskulin menjadi feminim. Semua pihak telah memikirkan dan tidak setuju dengan gagasan bahwa kekuatan perempuan berbeda dari kekuatan laki-laki.
Dalam paradigma feminisme, kekuasaan adalah kekuasaan yang sarat dengan perasaan kasih sayang. Alih-alih berpusat pada diri sendiri, bentuk kekuatan ini difokuskan untuk mencapai tujuan tertentu. Kekuasaan perempuan juga menggabungkan gagasan untuk memberdayakan orang lain, dan ketika perempuan memegang lebih banyak kekuasaan, seringkali muncul banyak antusiasme karena mentalitas berbasis perasaan.
Minimnya kader perempuan adalah akibat dari struktur kader partai yang tidak memberikan waktu, pertimbangan, dan kesempatan bagi perempuan. Pengertian persamaan hak dan kewajiban bagi laki-laki dan perempuan tanpa adanya perbedaan dalam bidang apapun pada hakekatnya terkandung dalam UUD 1945 yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Istilah "Statifikasi Gender", yang menempatkan posisi perempuan dalam tatanan hierarkis dalam posisi yang tidak sepenuhnya setara dengan laki-laki, namun sering digunakan dalam kehidupan nyata.
Berbagai tingkat akses ke peran politik menentukan sistem hierarkis ini. Perjuangan yang berkelanjutan untuk menegakkan hak setiap orang atas kesetaraan dan keadilan menjadi penyebab meningkatnya keterwakilan perempuan dalam politik. Hak asasi manusia juga termasuk kebebasan politik. Perempuan masih memiliki hak politik dan hukum fiktif, yang berarti laki-laki masih memiliki kendali terus-menerus atas mereka.
Dengan munculnya hak asasi manusia, politik telah terintegrasi ke dalam demokrasi dan telah menjadi bagian dari apa yang telah menjadi hukum alam yang sulit untuk diubah. Peluang bagi perempuan untuk memasuki dunia politik memang ada dan tersedia, namun jarang karena beberapa alasan.
Argumen utamanya adalah bahwa politik adalah ranah publik, penuh kekerasan, penuh dengan keadaan yang membutuhkan logika, dapat diperdebatkan, dan menuntut nalar. Lebih dari satu abad telah berlalu sejak perempuan pertama kali menerima hak pilih di Selandia Baru, negara pertama yang mengakui hak politik mereka.
Signifikansi keterlibatan perempuan dalam politik, atau ungkapan “Girl support girl” yang sering digunakan, karena perempuanlah yang benar-benar mengerti dan paham dengan persoalan perempuan. Karena pada hakekatnya, hak politik perempuan merupakan komponen krusial dari elemen fundamental yang membentuk struktur negara yang demokratis. Di Indonesia, sistem politik dan partai politik dinilai kurang memperhatikan isu gender, sehingga membuat perempuan merasa sangat diremehkan.
Data tentang rendahnya keterwakilan perempuan dalam politik menunjukkan adanya hambatan yang menghalangi perempuan untuk memasuki dunia politik. Karena pemikiran yang tidak logis dari pihak yang berbeda tentang hak-hak perempuan, Indonesia belum dapat sepenuhnya menerapkan hak atas perlindungan di bidang kesetaraan.
Pemikiran bahwa perempuan dibatasi menjadi ibu rumah tangga dengan peran di kamar tidur dan dapur tetapi bukan sebagai aktor politik, merupakan elemen lain yang berdampak signifikan pada sistem politik. Wanita tidak dapat menyamakan dirinya dengan pria dalam lingkungan yang berlawanan secara diametris.
Oleh karena itu perlunya terobosan untuk mencapai keadilan gender bagi laki-laki maupun perempuan yang memilki hak sama dalam model kekuasaan sebagai hasilnya. Sementara kesetaraan hukum antara laki-laki dan perempuan dijamin oleh semua peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak dapat dipungkiri bahwa diskriminasi terhadap perempuan masih merajalela.
Pada saat ini bukan untuk mengatakan bahwa tidak ada peran wanita dalam politik, tetapi kuantitas dan kualitasnya tidak seperti yang diharapkan. Dari kelompok-kelompok kecil itu, tidak semuanya peka terhadap isu gender. Meskipun setiap gagasan dan kebijakan politik sudah memasukkan kepekaan gender dan perspektif gender, namun masih ada hambatan dalam implementasinya.
Penulis: Pitri Andayani
Mahasiswi FISIP Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang
Disclaimer: Isi artikel tanggung jawab penulis