MENDENGAR - Tapi ada juga negara di luar Afrika Selatan, itu pun kalau boleh disebut sebagai sebuah negara, yang sudah 73 tahun menerapkan politik apartheid di wilayah kekuasaannya. Namun sayangnya, hingga hari ini belum lahir tokoh yang mampu melawan dan menang melawan rezim apartheid tersebut. Negara apartheid itu adalah Israel.
Apa itu politik apartheid? Kebijakan politik yang diterapkan di Afrika Selatan di mana terdapat pembedaan perlakuan hukum, hak dan kewajiban dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik, juga segregasi wilayah berdasarkan warna kulit (ras).
Afrika Selatan sebagai negara yang didominasi warga kulit hitam (Afrika) mengalami diskriminasi oleh kebijakan politik apartheid yang diterapkan oleh penguasa yang saat itu dipegang oleh minoritas kulit putih. Berdasarkan peraturan dalam kebijakan politik apartheid ini, warga Afrika Selatan diklasifikasikan sesuai ras yaitu kulit putih, kulit hitam (Afrika), kulit campuran, dan Asian (India Pakistan). Tentu saja peraturan yang tertuang dalam UU Kependudukan tahun 1950 ini memberikan privilege sangat besar kepada minoritas kulit putih dibandingkan warga kulit hitam, campuran, dan Asian. Namun itu adalah masa lalu Afrika Selatan dan politik apartheid sudah dihapuskan sejak Nelson Mandela terpilih sebagai presiden pada 1994.
Ketika apartheid di Afrika Selatan hilang, justru di tanah Palestina rakyatnya mengalami diskriminasi hingga hari ini. Israel, negara yang didirikan secara sepihak oleh para politisi zionis pada 1948 dan didukung penuh Amerika Serikat, Inggris, dan sekutu mereka, menerapkan kebijakan apartheid terhadap rakyat Palestina hingga hari ini. Perlawanan rakyat Palestina semakin melemah, dukungan negara-negara Arab dan Islam juga tampak tidak efektif, dan yang terjadi seperti kita lihat saat ini: Israel terus mempresekusi, mengintimidasi, dan bahkan tidak segan membunuh rakyat Palestina yang tidak membawa senjata apa-apa.
Mari kita pahami posisi geografis rakyat Palestina di tanah mereka yang saat ini dikuasai Israel. Pertama, rakyat Palestina yang tinggal di Jerusalem timur (Al Quds), kedua, warga Palestina yang tinggal di Tepi Barat, dan ketiga, rakyat Palestian di jalur Gaza. Di ketiga bagian wilayah tersebut, semua rakyat Palestina menderita dan mengalami diskriminasi dalam berbagai bentuknya. Untuk wilayah Tepi Barat dan Jerusalem Timur, rakyat Palestina berhadapan langsung dengan tentata Israel. Beberapa kota Palestina di Tepi Barat antara lain Hebron, Jericho, Ramallah, dan Betlehem (kota Kelahiran Nabi Isa AS). Sedangkan di Jalur Gaza, rakyat Palestina terisolasi total dari dunia luar.
Tahun 2007, saya berkeliling kota Jerusalem ditemani seorang pegiat perjuangan rakyat Palestina bernama Nasrallah. Tidak hanya dari cerita Nasrallah, saya juga melihat langsung betapa orang Yahudi benar-benar menjaga jarak dan memisahkan diri warga Palestina meskipun sama-sama tinggal di Jerusalem. Hampir tidak ada, misalnya sekelompok pemuda Yahudi berbaur atau bercengkerama akrab dengan warga Palestina. Di jalan mereka menjaga jarak, di restoran mereka terpisah, juga di tempat-tempat lainnya.
“Kami rakyat Palestina baik yang Muslim maupun Nasrani sama-sama terdiskriminasi. Kami stateless, tidak punya kewarganegaraan. Bukan warga negara Palestina, tetapi juga bukan waega negara Israel. Kami hanya mendapatkan ID sebagai penduduk Jerusalem Timur,” kata Nasrallah.
Tentu saja, warga Palestina di Jerusalem tidak memiliki hak politik dan tidak bisa bekerja di sektor formal. Mereka biasanya menjadi pedagang, sopir taxi,
atau pemandu wisata. Bahkan untuk sekadar beribadah di Masjidil Aqsa saja, rakyat Palestina harus lolos dari pemeriksaan tentara Israel.
Lantas, bagaimana kehidupan rakyat Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza? Tunggu tulisan saya berikutnya. (bersambung)
Penulis: Tofan Mahdi, Wakil Pemimpin Redaksi Jawa Pos (2007) dan penulis buku “Pena di Atas Langit”. Pernah melalukan tugas jurnalistik ke wilayah konflik Palestina-Israel