* - “Our lives change in two ways: through the people we meet and the book we read.” (Harvey Mackay)
Setiap tanggal 17 Mei diperingati sebagai Hari Buku Nasional. Pada Hari Buku Nasional tahun ini saya bertanya kepada seorang teman wartawan, “Sudah berapa buku yang anda baca sejak awal 2020 sampai masa Work From Home karena wabah pandemi virus Covid-19)?” Jawabnya, “Belum ada satu judul pun.” Jika tidak pernah membaca buku, bagaimana mungkin seorang wartawan bisa menulis buku? Jangan-jangan dia lupa bentuk fisik buku karena lebih akrab dengan gawainya dan lebih sering membaca pesan di media sosial (medsos).
Surut ke belakang, lima tahun lalu pada Hari Pers Nasional (HPN) 2015 di Batam terungkap bahwa jumlah wartawan yang menulis atau menerbitkan buku masih sangat minim. Padahal, wartawan termasuk kategori profesi yang cukup banyak memiliki informasi dari hasil liputannya.
Lima tahun kemudian pada HPN 2020 di Banjarmasin jumlah itu juga tetap tidak banyak. Pada setiap HPN selalu ada tradisi panitia nasional menerbitkan buku-buku karya wartawan dari seluruh daerah di Indonesia. Dari ribuan jumlah wartawan di Indonesia tetap saja buku yang terbit setiap tahunnya karya wartawan hanya berkisar puluhan judul. Seorang wartawan senior Yurnaldi menulis di laman medsos FB, “Wartawan banyak, tapi sedikit yang menulis buku.”
Yurnaldi benar. Sekarang selain jumlah wartawan banyak, yang mengaku wartawan senior juga banyak. Dari para wartawan senior diharapkan bisa lahir banyak buku tentang pengalaman selama bertugas sebagai wartawan atau tentang kajian jurnalistik sehingga buku tersebut bisa menjadi inspirasi dan dibaca oleh wartawan muda atau junior.
Wartawan senior Jakob Oetama mengatakan, “Menulis buku adalah mahkota buat wartawan.” Wartawan senior Amarzan Loebis yang pernah bekerja di majalah Tempo mengatakan, “Jangan menyebut diri sebagai wartawan senior kalau belum pernah menulis buku. Kalau belum menulis buku, istilah yang lebih tepat adalah ‘wartawan tua’.”
AM Hoeta Soehoet pendiri dan juga Rektor IISIP (Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ) Jakarta dulu bernama Sekolah Tinggi Publisistik (STP) mengatakan, “Kelemahan wartawan hanya bisa menulis berita, bukan menulis buku. Wartawan yang sampai hari tuanya tidak sekalipun pernah menulis buku, hanya pantas disebut sebagai wartawan bangkotan.”
Di luar negeri banyak wartawan termasuk wartawan senior menulis buku. Bob Woodward atau Robert Upshur Woodward sukses menulis lebih dari 12 buku non fiksi. Bob Woodward yang lahir di Illinois 26 Maret 1943 adalah seorang jurnalis terkenal dari Amerika Serikat yang bekerja sebagai reporter Harian The Washington Post berhasil mengungkap skandal Watergate yang melibatkan Presiden Richard Nixon.
Sebagai wartawan Bob Woodward berhasuil meraih dua kali Penghargaan Pulitzer. Penghargaan Pulitzer adalah penghargaan yang dianggap tertinggi dalam bidang jurnalisme di Amerika Serikat. Penghargaan ini juga diberikan untuk pencapaian dalam bidang sastra dan gubahan musik. Penghargaan Pulitzer pertama diberikan pada 4 Juni 1917. Di Indonesia ada Penghargaan Adinegoro.
Bob Woodward bersama Carl Bernstein menulis dua buku klasik tentang Presiden Richard Nixon yang berjudul “All the President’s Men” dan “The Final Days.” Bukunya “All the President’s Men”diangkat ke layar perak dan merupakan film klasik yang wajib ditonton para wartawan muda khususnya mereka yang tertarik dengan liputan investigasi.
Di usia yang tidak muda, pada usia 75 tahun Bob Woodward masih menulis buku. Pada 2018 lalu terbit bukunya berjudul “Fear: Trump in the White House,” atau “Ketakutan: Trump di Gedung Putih.” Buku tentang Presiden Donald Trump dan pemerintahan Amerika Serikat dibawah pimpinannya ditulis berdasarkan wawancara dengan berbagai sumber selama “ratusan jam,” ditambah catatan-catatan dan kutipan-kutipan dari buku harian yang mencerminkan “kehidupan yang menakutkan” di dalam Gedung Putih.
Juga ada David Halberstam seorang jurnalis yang menulis lebih dari 20 buku. David Halberstam yang lahir 10 April 1934 ialah seorang jurnalis, penulis, dan sejarawan peraih Penghargaan Pulitzer. Halberstam pada tahun 1960-an meliput perang Vietnam untuk The New York Times. Ia juga menulis tentang perang Korea dalam dua buku, “The Fifties” yang terbit 1993 dan “The Coldest Winter: America and the Korean War” yang terbit 2007.
Di Indonesia, sejak era sebelum kemerdekaan para jurnalis atau wartawan Indonesia yang saat itu negerinya terjajah juga telah menulis buku selain menulis di media massa tempat mereka bekerja. Seperti Adinegoro yang namanya diabadikan sebagai penghargaan untuk wartawan atau jurnalis Indonesia pada 1931 telah menulis buku yang berjudul “Melawat ke Barat.”
Para wartawan Indonesia pada masa itu sampai masa kemerdekaan adalah jurnalis andal yang memiliki kemampuan menulis buku, khususnya buku-buku tentang jurnalisitik atau publisistik. Diantaranya wartawan Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, BM Diah dan Wonohito yang melahirkan karya tulis mereka dalam bentuk buku. Sejak saat itu semakin banyak wartawan atau jurnalis Indonesia yang menulis buku, ada Goenawan Mohammad, Jakob Oetama dan Parni Hadi.
Mochtar Lubis juga menulis buku tentang perang Korea yang diberi judul “Catatan Perang Korea.” Buku ini pertama kali terbit tahun 1951 kemudian terbit dalam edisi kedua tahun 2010. Mochtar Lubis adalah salah seorang wartawan perang dari Indonesia yang diundang dan dengan akreditasi PBB untuk meliput perang Korea dan izin dari Panglima Perang Amerika Serikat Jendral Mac Arthur.
Wartawan memang harus menulis buku. Menurut Ignatius Haryanto, menulis dalam bentuk buku lebih awet dari pada menulis laporan dalam bentuk harian atau mingguan. Buku lebih memberi ruang untuk detail tentang peristiwa yang dilihat dan dialami seorang wartawan atau jurnalis. Semakin banyak wartawan menulis buku, semakin tinggilah prestasi jurnalis tersebut.
Sebagai mahkota, buku bagi seorang wartawan karyanya menjadi lebih abadi dibanding berita yang ditulis surat kabar atau majalah dan media online umurnya tidak terlalu panjang. Ungkapan “Menulis buku adalah mahkota buat wartawan,” sekaligus menjadi pertanda seorang wartawan atau jurnalis sesungguhnya intelektual. Jadi buku adalah simbol intelektualitas. Istilah kuli tinta atau kuli flashdisk dan gadget tidak pantas dilekatkan pada seorang jurnalis. Seorang jurnalis atau wartawan adalah intellectual in action.
Wartawan saat ini sudah memiliki tingkatan status dan derajat sosial yang bisa dilihat sesuai kompetensinya. Sebagai potret dari kompetensi tersebut bisa kita lihat pada tokoh pers seperti Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. Atau Goenawan Mohammad, Jakob Oetama dan Parni Hadi, mereka bermula dari seorang reporter yang hanya menulis berita, meningkat menjadi penulis artikel atau esai kemudian mereka menghimpun kumpulan artikelnya menjadi sebuah buku.
Mereka adalah sosok wartawan senior yang memang telah teruji dan tidak diragukan lagi kompetensinya sebagai jurnalis. Bandingkan dengan wartawan atau jurnalis sekarang ini yang sudah mengikuti uji kompetensi wartawan (UKW) yang sudah memiliki tingkatan status dan derajat sosial yang bisa dilihat sesuai kompetensinya (kartu UKW), apakah mereka sudah menulis atau menerbitkan satu judul buku?
Sebenarnya, di daerah menemukan ada wartawan atau jurnalis yang sudah menulis atau menerbitkan buku. Banyak wartawan yang berani menulis biografi tokoh atau pejabat daerah walau jam terbang sebagai wartawan baru seumur jagung. Mereka menulis biografi, mungkin mereka anggap itu adalah hal yang mudah dilakukan.
Menulis buku biografi adalah amat sulit, butuh riset dan butuh waktu yang lumayan lama. Buku biografi tokoh-tokoh di Indonesia lebih banyak ditulis wartawan senior atau penulis senior yang sudah menulis atau menerbitkan banyak buku. Di daerah justru sebaliknya, belum pernah menulis sebuah buku pun sudah berani menulis buku biografi. Ini ajaib namanya.
Buku selain mahkota bagi seorang wartawan, bagi sebuah media massa khususnya media cetak, buku juga adalah mahkota. Ada adagium yang menyebutkan “buku adalah mahkota media cetak.” Klaim bahwa buku adalah mahkota media cetak tertulis dalam Ensiklopedi Indonesia halaman 538-539.
Tertulis “Buku ialah alat komunikasi berjangka waktu panjang dan mungkin sarana komunikasi yang paling berpengaruh pada perkembangan kebudayaan dan peradaban umat manusia. Di dalam buku, dipusatkan dan dikumpulkan hasil pemikiran dan pengalaman manusia daripada sarana komunikasi lainnya. Sebagai alat pendidikan, buku berpengaruh pada anak didik dari pada sarana-sarana lainnya.”
Buku disebut sebagai mahkota bagi wartawan bukan saja karena perannya yang paling unggul di antara media cetak lain. Akan tetapi, buku juga diakui sebagai media paling berpengaruh dalam proses belajar-mengajar. Dari rentang waktu (frame time), buku berumur sangat panjang. Dengan melihat kenyataan itu, kita sepakat dengaan ungkapan “Verba volant scriptura menent” apa yang kita ucapkan pasti berlalu, namun apa yang ditulis abadi selamanya!
Kepada para jurnalis dan wartawan, jika anda ingin dikenang selamanya, jangan hanya bicara. Menulislah, menulis buku, bukan menulis di laman medsos. Mulailah menulis sebuah buku dari sekarang. Ayo menulis buku agar tidak jadi wartawan bangkotan.
Penulis: Maspril Aries Wartawan Utama/ Penggiat Kaki Bukit Literasi