Seperti diketahui bersama bahwa sistem pemilu di Indonesia sudah berubah menjadi proporsional daftar calon terbuka, sehingga terjadi perubahan orientasi memilih dari yang awalnya memilih partai menjadi memilih kandidat. Hal ini menimbulkan kompetisi yang sengit antar calon, sehingga cara apapun dilakukan termasuk penggunaan isu SARA menjadi satu hal yang efektif untuk meraih simpatik atau dukungan elektoral dari masyarakat yang tujuannya adalah untuk meraih kemenangan.
Hal ini tentu tidak sesuai dengan nilai-nilai hakiki yang sudah ditanamkan oleh para pendiri negara ini sebagaimana tertulis dalam konstitusi. Latar belakang agama, suku dan golongan ini berbahaya apabila dibiarkan, dapat merusak persatuan dan kesatuan bangsa untuk ke depannya.
Faktor berikutnya adalah terkait revolusi digital dan revolusi komunikasi. Adanya kemajuan teknologi informasi ini tidak hanya berdampak pada segi ekonomi, tetapi juga berdampak pada komunikasi politik atau partisipasi politik.
Kebebasan informasi dalam penggunaan media sosial menimbulkan banyaknya hoaks dan ujaran kebencian, baik verbal maupun non verbal. Kondisi ini telah mendorong mobilisasi politik dan rekayasa politik yang lebih didasarkan oleh sentimen emosi, bukan karena rasional fakta.
Hal inilah yang menjadi pintu masuk untuk sebuah mobilisasi politik yang didasarkan pada isu-isu yang bersifat primodial, dan ini sangat berbahaya. Persoalan kemiskinan juga menjadi salah satu faktor meluasnya penggunaan isu SARA dalam penyelenggaraan pemilu.
Jika bicara demokrasi di era digital sekarang ini, pilar demokrasi bukan lagi sekedar eksekutif, legislatif dan yudikatif. Selain pers, media sosial juga termasuk ke dalam pilar demokrasi. Beberapa ahli mengatakan bahwa media sosial sudah menjadi pilar dalam demokrasi. Para pemimpin di dunia mulai menyerap dan menjawab opini dan aspirasi masyarakat (warganet/netizen) di media sosial, termasuk di Indonesia.
Media sosial menjadi tempat bagi masyarakat untuk menyampaikan yang menjadi hak mereka terkait dengan demokrasi. Namun diera sekarang ini, warganet atau netizen bukan lagi sekedar konsumen, tetapi juga produsen berita. Masyarakat yang memiliki informasi berkualitas akan menghasilkan juga demokrasi demokrasi yang berkualitas. Untuk menghasilkan demokrasi yang berkualitas, maka ruang publik atau ruang digital harus diisi oleh informasi sosial dan politik yang berkualitas.
Penulis: Yeris Vinanda, Mahasiswi UIN Raden Fatah Palembang
Disclaimer: Artikel dan isi tanggung jawab penulis