PALEMBANG, GLOBALPLANET - Menanggapi hal tersebut, Asisten Deputi Bidang SDM Umum dan Komunikasi Publik BPJS Kesehatan Kanwil Sumsel, Didin Budi Cahyoni menyatakan hingga saat ini, pihaknya belum dapat berkomentar terkait penurunan dan pengembalian biaya BPJS atas keputusan MA yang membatalkan Perpres 75 Tahun 2019 tentang kenaikan Iuran BPJS sejak Januari 2020 lalu.
"Kami baru tahu info ini dari berita yang tersebar, untuk keputusan pengembalian serta penurunan biaya kita sendiri juga belum menerima salinan putusan dari MA, sementara ini kami tunggu dan lihat dulu untuk kajian lebih jauh, karena ini urusan pusat," ujarnya, Selasa (10/3/2020).
Didin mengatakan, secara teknis terkait aturan biaya pihaknya juga tidak bisa memutuskan. Sebab kebijakan harus melibatkan pihak-pihak terkait.
"Ranahnya sudah ke pusat semua, kami hanya menjalankan kebijakan apabila sudah ada persetujuan. Untuk waktu kepastian kita juga gak bisa ngomong, tapi sekarang sedang tahap koordinasi di tingkat pusat termasuk Kementrian Kesehatan," tandasnya.
Didin mengungkapkan, apabila ada keputusan baru terhadap kepastian biaya BPJS. Maka kemungkinan akan ada imbas terhadap aturan iuran pembayarannya.
"Kalau memang resmi ada penurunan biaya atau aturan baru, pasti berdampak terhadap penarikan iuran. Namun ini masih kemungkinan, sebab berpengaruh terhadap defisit. Tahun lalu dari pemerintah untuk BPJS kesehatan se-Indonesia ada defisit Rp32 Triliun,"ujarnya.
Seperti di ketahui, Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) melayangkan uji materi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 8 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan terkait kenaikan iuran BPJS yang mencapai 100 persen ke Mahkamah Agung (MA) melalui kuasa hukum KPCDI Rusdianto Matulatuwa pada 5 Desember 2019 yang lalu.
Pihak KPCDI, meminta kebijakan BPJS dan pemerintah untuk tidak mengakali atau mengelabui pasien tentang aturan kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen.
Mereka beralasan Perpres Nomor 75 Tahun 2019 yang diteken Presiden Jokowi dan diundangkan pada 24 Oktober ini bertentangan dengan UUD Tahun 1945; UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN); UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS); dan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.