JAKARTA, GLOBALPLANET - “Di India, pandemik Covid-19 menyebabkan konsumsi minyak sawit menurun hingga 30%. Pada bulan Oktober, impor minyak sawit turun dari 9,4 juta ton di tahun 2019 menjadi 7,2 juta ton di tahun 2020,” kata Dr BV Mehta, Executive Director Solvent Extractors’ Association of India, saat menjadi pembicara dalam Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2020 New Normal yang diselenggarakan secara virtual, Kamis (3/12/2020).
Mehta mengatakan, tidak hanya pandemik, penurunan konsumsi minyak sawit ini juga disebabkan adanya kebijakan pemerintah India yakni bea masuk safe guard duty dan dimasukannya RBD palm olein dalam daftar komoditas yang dibatasi.
Sementara itu Cao Derong, Presiden Chamber of Commerce for Import and Export of Foodstuffs Native Produce and Animal By-Product China, mengatakan penurunan konsumsi minyak sawit juga terjadi di Republik Rakyat China. Triwulan pertama tahun 2020 impor minyak kelapa sawit turun signifikan menjadi 320 ribu ton. Semenjak bulan tersebut, volume ekspor sawit ke Cina terus menyusut. Memasuki Juni 2020, volume impor minyak sawit kembali merangkak naik dengan year-on-year hingga 25,5% seiring dengan kebijakan penanganan wabah Covid-19 oleh pemerintah setempat.
Hal serupa juga terjadi di Pakistan. Hingga Oktober 2020, impor minyak sawit hanya mencapai 2,3 juta ton. Ketua PEORA (Pakitsan Edible Oil Refiner Association) Abdul Rasheed Jan Mohammad meragukan volume impor minyak sawit akan menjadi 3 juta ton di tahun ini.
Penurunan ini terjadi akibat pandemik pada semester satu dan harga minyak sawit yang tinggi sejak pertengahan tahun. Setidaknya 76% pangsa pasar minyak sawit di Pakistan dikuasai oleh Indonesia.
Prospek 2021
Ketidakpastian pasar masih membayangi pasar global namun naiknya permintaan pasar minyak nabati karena kebutuhan pangan dan kosmetik dinilai mampu mendorong pertumbuhan pasar industri minyak sawit Indonesia.
Negara-negara importir minyak sawit terbesar Asia dikenal sebagai negara padat penduduk yang mengalami peningkatan populasi tiap tahunnya. Selaras dengan hal tersebut, permintaan pasar diharapkan bisa meningkat di tahun 2021.
Cao Derong mengungkapkan minyak sawit merupakan minyak nabati impor terbesar di China. Konsumi minyak sawit di China mencapai 40% dari total konsumsi yakni untuk industri kimia. Pada tahun 2019, Cina mengimpor 8,48 juta ton minyak sawit atau 66% dari total impor minyak nabati di Cina. Sementara itu, 6,02 juta ton diantaranya diimpor dari Indonesia. Ia juga menyebutkan dikarenakan permintaan pasar yang cukup tinggi, China sangat bergantung pada impor minyak nabati terutama minyak sawit.
“Dengan pemulihan ekonomi yang terjadi di tahun 2021 terutama di industri catering, konsumsi minyak sawit diperkirakan akan meningkat,” tutur Cao.
Namun Cao juga mengingatkan adanya dampak kebijakan insentif pemerintah malaysia terhadap pasar China. “Pemerintah Malaysia memiliki kebijakan insentif yang besar untuk mengekspor minyak kelapa sawit ke China. Akibatnya, ada gap harga minyak kelapa sawit antara Malaysia dan Indonesia yang menghasilkan penurunan keseluruhan dalam pengadaan China dari Indonesia,” tambah Cao.
Sementara itu, permintaan minyak nabati di India dan Pakistan juga diproyeksikan akan terus meningkat. Mehta menjelaskan Impor minyak kelapa sawit dari Indonesia melebihi impor dari Malaysia, dan merupakan impor minyak nabati tertinggi di India dibandingkan dengan minyak nabati lain. Impor ini masih akan meningkat sejalan dengan peningkatan populasi dan konsumsi.
Dr BV Mehta, Executive Director Solvent Extractors’ Association of India menyebut, setidaknya 8,4 - 9 juta ton sawit akan dibutuhkan pasar India pada tahun 2021. Sementara itu, tidak ada angka pasti yang diproyeksikan Pakistan untuk konsumsi minyak sawit. Selain itu, dengan terus meningkatnya harga sawit, dikhawatirkan India dan Pakistan akan kembali menerapkan bea masuk untuk industri sawit.
"Penetapan bea masuk oleh pemerintah Pakistan untuk beberapa industri dilakukan tidak hanya untuk melindungi pelaku industri dalam negeri, namun juga konsumen agar harga yang didapatkan tidak terlalu tinggi," papar Ketua PEORA (Pakitsan Edible Oil Refiner Association) Abdul Rasheed Jan Mohammad.