loader

Ketua Umum SAMADE Serukan Pilih NO pada Poling Biofuel

Foto

MEDAN, GLOBALPLANET. - “Sekecil apapun pembelaan kita terhadap perkebunan kelapa sawit kita, termasuk melalui website milik lembaga Biofuel Internasional, maka sesungguhnya kita telah memperjuangkan sawit kita, memperjuangkan masa depan perekonomian Indonesia,” ujar Tolen kepada para wartawan melalui handphone, Rabu (27/1/2021).

Kata Tolen, poling itu diselenggarakan oleh pihak swasta di Eropa dan berpotensi memengaruhi kebijakan Uni Eropa terhadap minyak sawit milik Indpnesia. "Kebijakan biofuel Uni Eropa juga akan memengaruhi Malaysia dan negara-negara produsen sawit lainnya," kata Tolen.

Tolen Ketaren menjelaskan isi poling itu berupa satu pertanyaan dalam bahasa Inggris. "Pertanyaannya kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia yakni apakah kebijakan atau proposal Uni Eropa sudah tepat untuk mengeluarkan atau meniadakan penggunaan minyak sawit dalam kebijakan biofuel di tahun 2030?. Nah, di situ ada dua pilihan, yani yes atau no. Kami harap seluruh masyarakat Indonesia untuk memilih kata no," saran Tolen.

Kata dia, dengan memilih NO maka ini akan memengaruhi sikap pihak lembaga Biofuel Internasional yang akan menyelenggarakan konferensi dan ekspo di Brussel, Belgia, pada tanggal 15-16 Juni 2021. "Juga dengan memilih NO akan membuka kesempatan industri minyak sawit dari negara-negara produsen minyak sawit, termasuk Indonesia, untuk menghindar dari kebijakan diskriminatif Uni Eropa," sambung Tolen. Padahal, ujar Tolen, industri perkebunansawit di Indonesia umumnya ramah lingkungan, menghemat lahan, efektif dan efesien, dan bisa dipanen berkali-kali selama puluhan tahun.

Motif Persaingan Dagang

Sifat-sifat istimewa inlah, kata Tolen, yang tidak ada dalam industri minyak nabati non sawit milik negara-negara Uni Eropa seperti minyak jagung, kedelai, minyak bunga matahari, minyak raphesed, dan tanaman nabati lainnya. "Bandingkan dengan minyak nabati produksi Uni Eropa, yang satu kali masa tanam, satu kali masa panen, dan hasil panennya pun tidak maksimal. Industri minyak nabati mereka justru membutuhkan lahan yang jauh lebih luas dibandingkan perkebunan sawit kita," ujar Tolen.

Karena itu, ia melihat sesungguhnya kebijakan dan sikap Uni Eropa lebih didasari oleh motif persaingan dagang. WTO (World Trade Organization atau Organisasi Perdagangan Dunia), sambung Tolen, sudah menegaskan untuk menegakan perdagangan yang adil dan tanpa diskriminasi. Sekadar informasi, Indonesia saat ini telah memproduksi biodiesel 30(B-30) yang berbahan baku minyak sawit sebanyak 30 persen. Sementara itu, inti dari kebijakan biofuel Uni Eropa adalah penggunaan bahan bakar yang ramah lingkungan. Nah, Uni Eropa berupaya mengeluarkan minyak sawit dari kebijakan penggunaan biofuel dalam industri transportasi di negara-negara Uni Eropa. Kebijakan itu bahkan sudah dituangkan dalam Delegated Regulation (DR) yang merupakan pelaksanaan dari Renewable Energy Directive (RED) II. Di dalam DR itu sawit diklasifikasikan sebagai bahan baku biofuel yang secara tidak langsung bisa melakukan perubahan lpenggunaan lahan sehingga sangat beresiko tinggi bagi lingkungan atau Indirect Land Use Change (ILUC) berisiko tinggi (High Risk atau HR).

"Fakta di lapangan, justru perkebunan minyak nabati non sawit milik Uni Eropa yang justru membutuhkan lahan yang banyak agar bisa memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Karena itu, kebijakan mereka sangat diskriminatif terhadap sawit. Jadi, saya menyerukan untuk memilih NO pada poling yang dibuat oleh lembaga Biofuel Internasional ini," tegas Tolen Ketaren.

Share

Ads