MEDAN, GLOBALPLANET.news - "Tentu karena kami adalah petani sawit, ya kami berbicara tentang pentingnya edukasi sawit yang berkelanjutan kepada para petani. Nah, edukasi itu bisa saja dilakukan oleh pemerintah, perusahaan sawit yang menjadi mitra petani, atau berbagai lembaga atau yayasan yang peduli pada sawit berkelanjutan," ujar Tolen.
Edukasi itu, kata Tolen, hasil akhirnya adalah dibuktikan dengan proses sertifikasi dari sejumlah lembaga berkompeten seperti dari Komisi Indonesia Sustainable Palm Oil berupa Sertifikat New ISPO, Lembaga Roundtable on Sustainable Palm Oil berupa Sertifikat RSPO.
Atau, sambung Tolen, tidak menutup kemungkinan bila petani sawit bersentuhan dengan sertifikasi dari ISCC (International Sustainability & Carbon Certification).
Sebagai informasi, ISCC adalah salah satu standar yang lahir setelah RSPO dan ISPO. Standar ISCC bukan hanya diterapkan di perkebunan dan industri kelapa sawit, tetapi juga bagi industri pangan, pakan, energi dan kimia. ISCC merupakan salah satu sistem sertifikasi terkemuka untuk keberlanjutan dan emisi gas rumah kaca untuk segala jenis produksi biomassa (energi yang terbarukan).
Bila ada CPO yang bersertifikasi ISCC maka akan berpotensi untuk mendapatkan premium sekitar 20 – 30 dolar AS per metrik ton dari harga di pasar dunia.
Terkait hasil referendum tentang perjanjian perdagangan bebas atau free trade agreement (FTA) antara Indonesia dengan Swiss, Minggu (7/3/2021) lalu, Tolen mengatakan pihaknya sangat menyambut baik karena dapat meningkatkan ekspor kelapa sawit Indonesia.
Referendum yang diikuti 51 persen dari total jumlah daftar pemilih tetap (DPT) itu untuk sementara waktu memenangkan FTA RI-Swiss, termasuk perdagangan minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO).