PALEMBANG, GLOBALPLANET - Kepala Perwakilan PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Sumatera Utara, Muhamad Pintor Nasution, kepada sejumlah media melalui aplikasi WhatsApp (WA), Minggu (21/3/2021), mengakui isu ini sempat menimbulkan kepanikan di pasar modal Indonesia, termasuk pasar obligasi.
Kata dia, pasar obligasi Indonesia sempat mengalami tekanan seiring dengan merangkaknya yield US Treasury dalam beberapa waktu terakhir. "Hal itu terjadi karena asumsi bahwa pemulihan ekonomi AS yang lebih cepat akan memicu diterapkan kebijakan taper tantrum akan terjadi lebih cepat pula," ujar Pintor.
Ia mengatakan, The Fed sudah memberi pernyataan bahwa peluang pemulihan AS terbuka namun tidak seatraktif yang dibayangkan. Efeknya, kata Pintor, kenaikan inflasi akan tetap terkendali. The Fed juga menekankan kalau ekonomi AS kemungkinan baru pulih pada tahun 2023.
Kata Pintor, walau sempat mengalami tekanan karena kenaikan yield US Treasury, menurut data Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI), yield obligasi Indonesia tetap masih atraktif. Seperti diketahui, kenaikan yield US Treasury sempat menyentuh level 1,57% pada 5 Maret 2021 atau naik sebesar 70,30% secara year to date (ytd).
“Seiring kenaikan yield US Treasury, yield SBN acuan 10 tahun sempat terkerek dan menyentuh level 6,7% pada 23 Februari, sekaligus merupakan level tertingginya sepanjang tahun 2021,”kata Pintor.
Meski sempat bergejolak, Pintor yakin real yield atau yield yang telah memperhitungkan tingkat inflasi obligasi RI masih atraktif dibanding beberapa negara tetangga. "Hal itu terbukti dari real yield obligasi RI masih mencapai level 5,24%. "Angka itu menurut PHEI, masih lebih tinggi dibandingkan dengan real yield obligasi di negara-negara seperti Malaysia, Thailand, Filipina, dan Singapura," ujar Pintor.
Sekadar mengingatkan, Head of Research & Market Information Department PHEI, Roby Rushandie, dalam acara Edukasi Wartawan terkait Outlook Pasar Obligasi 2021 menyatakan, jika dilihat dari inflasi Indonesia yang lebih rendah, bahkan cenderung stabil pergerakannya, bahkan inflasi bisa di bawah dua persen, real yield 5,24 persen tentu saja lebih tinggi.
Di pasar SBN domestik, menurut Roby, sempat terjadi peningkatan CDS dan Volatility Index (VIX) yang terjadi pada Februari lalu menjadi pertimbangan bagi asing untuk berinvestasi di Indonesia. Karena itu, meski peluang positif tetap ada, ia mengingatkan risiko sudden reversal.
“Real yield SBN kita masih lebih tinggi ketimbang negara lainnya, yaitu di kisaran 5,24%. Namun, apabila kenaikan yield US Treasury berlanjut, itu berpotensi menimbulkan risiko sudden reversal. Asing lebih memilih beralih ke US Treasury karena dianggap sebagai safe haven,”ucap dia.
Soal potensi peningkatan imbal hasil yield obligasi Indonesia, menurut PHEI, sangat bergantung pada kebijakan Bank Indonesia. Apabila terdapat upaya tambahan dari bank sentral untuk mengantisipasi US Treasury, tentu akan memberi sinyal positif bagi pasar obligasi Indonesia.
Seiring peluang pertumbuhan fundamental ekonomi Indonesia yang lebih baik, menurut PHEI, pasar obligasi Indonesia berpeluang tetap berada di zona positif. Diakui ada kendala akibat Pandemi COVID-19, namun upaya pemerintah dalam mempercepat program vaksinasi, memberi sentimen positif pada pasar keuangan.
Memasuki bulan Maret, fundamental ekonomi nasional memperlihatkan tren penguatan. Hal itu tercermin pada besarnya cadangan devisa, rendahnya inflasi, tipisnya porsi kepemilikan investor asing di surat berharga negara (SBN), serta kuatnya
likuiditas di dalam negeri akibat stimulus yang digelontorkan pemerintah, Bank Indonesia (BI), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Meski kenaikan yield US Treasury diperkirakan masih membayangi pasar Indonesia, PHEI memperkirakan emisi obligasi korporasi tahun 2021 akan tetap marak. Itu terjadi karena suku bunga di dalam negeri masih rendah dan inflasi yang terjaga pada level rendah. Hal ini menjadi peluang bagi korporasi untuk menerbitkan obligasi karena rendahnya biaya dana atau cost of fund.
Pada sisi lain, jatuh tempo obligasi korporasi pada 2021 yang sekitar Rp 120 triliun, bisa mendorong langkah korporasi menerbitkan obligasi untuk refinancing.
Minat pasar obligasi korporasi, menurut PHEI, juga diperkirakan lebih tinggi tahun ini akibat berbagai sentimen positif yang muncul bersamaan dengan kuatnya optimisme bahwa ekonomi segera pulih, termasuk ditopang oleh upaya pengendalian penyebaran COVID-19 dan percepatan vaksinasi. Pada sisi lain, investor domestik terus menjadi penopang penyerapan obligasi karena makin memahami faktor fundamental.