PALEMBANG, GLOBALPLANET - Dilihat kemasan yang tertera di karung, pupuk ini diproduksi PT Andalas Dolomite Sejahtera yang beralamat di Kota Padang, Sumatera Barat. Hal ini diperkuat dengan surat jalan dari PT Andalas Dolomite Sejahtera yang didapatkan dari sopir.
Wadir Reskrimsus Polda Sumsel AKBP Ferry Harahap didampingi Kasubdit I Indagsi Kompol Hadi Saifuddin mengatakan pengungkapan kasus ini berdasarkan informasi yang diterima anggota Subdit I Indagsi dari masyarakat diduga ada peredaran pupuk tanpa izin edar di Desa Mariana Banyuasin. Dari informasi inilah anggota turun ke TKP untuk melakukan penyelidikan.
"Saat anggota berada di TKP, anggota menemukan adanya peredaran pupuk tanpa izin edar. Nama pupuknya Dolomite untuk sementara dugaanmya tidak ada izin edar. Jumlah pupuknya sebanyak 659 sak masing masing satu sak berisi 50 kilogram," kata Ferry, Kamis (21/10/2021).
Dikatakan Ferry, penggunaan pupuk yang tidak memiliki izin edar bisa merugikan petani. Ketika petani menggunakan pupuk ini berharap tanaman akan tumbuh subur. Karena pupuknya abal - abal sehingga hasil panen yang diharapkan tidak sesuai dengan yang diinginkan.
"Inilah yang tidak kami harapkan, karena di masa pandemi Covid-19 polisi terus membantu masyarakat termasuk para petani agar terhindar dari segala bentuk yang bisa merugikan mereka," bebernya.
Dikatakan Ferry, pengiriman pupuk dari Padang ke Sumsel bukan yang pertama kali namun yang kedua kali. Namun kali ini yang baru terungkap. Menurut Ferry, izin edar merupakan persyaratan untuk memastikan apakah pupuk tersebut layak untuk dipasarkan.
"Nah di Pupuk Dolomite ini tidak ada izin edarnya dari Kementerian Pertanian yang berwenang memberikan izin edarnya. Karena tidak ada izin edar bisa dikatakan pupuk ini palsu sehingga jika digunakan untuk memupuk tanaman tanaman tidak subur," terangnya.
Lebih lanjut dikatakan, Ferry produsen yang memproduksi pupuk dari Padang ini baru memasarkan pupuknya di Sumsel. Sebelum pupuk ini sudah di pasarkan di Sumatera Barat dan di Pekanbaru.
"Untuk produsen nya kami jerat dengan pasal 122 Jo pasal 73 UU RI No 22 tahun 2019 tentang sistem budidaya pertanian berkelanjutan. Dan pasal 63 ayat (1), Jo pasal 8 ayat (1) huruf a UU No 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dengan ancaman pidana enam tahun penjara dan denda sebesar Rp3 miiar," pungkasnya.