loader

Ayah Tiri Jadi Wali Nikah, Boleh?

Foto
Ilustrasi pernikahan. (Foto: Ist/iStock)

SALAH SATU - rukun nikah adalah wali yang mempunyai kewenangan untuk menikahkan anak perempuannya. Bagaimana dengan ayah tiri yang sudah menghidupi sejak kecil?

Secara jelas, syariat Islam telah menentukan orang yang berhak menjadi wali. Secara garis besar, wali yang berhak menikahkan seorang perempuan adalah mereka yang memiliki garis hubungan darah dengan perempuan tersebut.

Urutan prioritas wali dijelaskan oleh Imam Abu Suja’ dalam Matan al-Ghâyah wa Taqrîb (Surabaya, Al-Hidayah: 2000), halaman 31, sebagai berikut:

“Wali paling utama ialah ayah, kakek (ayahnya ayah), saudara lelaki seayah seibu (kandung), saudara lelaki seayah, anak lelaki saudara lelaki seayah seibu (kandung), anak lelaki saudara lelaki seayah, paman dari pihak ayah, dan anak lelaki paman dari pihak ayah. Demikianlah urutannya. Apabila tidak ada waris ‘ashabah, maka (walinya adalah) hakim.”

Keberadaan ayah tiri ini sama sekali tidak dipertimbangkan menjadi wali nikah, karena ia tidak disebutkan dalam daftar urutan prioritas wali nikah. Namun demikian, ada peluang seorang ayah tiri menjadi wali nikah, yakni dengan cara mewakilan (tawkil), artinya wali asli dari perempuan tersebut mewakilkan perwalian pernikahan kepadanya.

Hal ini sebagaimana penjelasan Abu Hasan Ali al-Mawardi dalam kitab al-Hawi al-Kabir (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah: 1999), juz IX, hal. 113:

“Adapun mewakilkan perwalian, hal tersebut tidak diperbolehkan kecuali seseorang yang memenuhi persyaratan yakni: lelaki, baligh, merdeka, muslim, dan pintar. Jika syarat tersebut terkumpul maka sah mewakilannya.”

Dari keterangan tersebut, dapat dipahami bahwa jika ayah tiri memenuhi persyaratan, maka ia bisa menerima tawkil wali nikah. Tentunya tawkil ini harus dilakukan dengan kalimat serah terima yang sah menurut syariat Islam.

Hal demikian juga berlaku bagi selain ayah tiri, seperti ayah angkat, guru, atau siapa pun yang memang bukan wali asli. Namun demikian, hal yang perlu benar-benar diingat bahwa tawkil ini dilakukan atas dasar serah terima, sehingga keberadaan pihak yang menyerahkan, dalam hal ini adalah wali asli, haruslah benar-benar ada.

Sedangkan jika semua wali asli tidak ditemukan, entah karena sudah meninggal, menghilang atau sebab lainnya, maka yang berhak menjadi wali adalah hakim. Jika di suatu wilayah tidak ditemukan adanya hakim, maka yang menempati posisi hakim ini ialah muhakkam, yakni seseorang yang diposisikan sebagai hakim dengan persyaratan tertentu. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Zainuddin Ahmad bin Abdulaziz al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in (Surabaya, Kharisma: 1998), halaman 472:

“Kemudian jika tidak ditemukan wali dari orang-orang yang telah tersebut di atas, maka yang menikahkan perempuan tersebut adalah muhakkam yang adil dan merdeka”.

Dengan demikian, ayah tiri tidak bisa menjadi wali nikah kecuali jika ia telah menerima perwalian dari wali nikah asli sebagaimana yang sudah ditentukan oleh syariat Islam. Wallahu a‘lam.

 

 

 

 

Sumber: Tim Layanan Syariah Ditjen Bimas Islam pada Laman Kemenag

 

Share

Ads