JAKARTA, GLOBALPLANET - Menurut Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara menganggap, situasi ini merupakan peluang emas untuk eksportir sawit Indonesia untuk penetrasi pasar di India. Mengingat setiap tahun India menyerap sembilan juta ton CPO untuk kebutuhan 1,3 miliar penduduknya.
Dengan kebutuhan sebesar itu, CPO tidak bisa tergantikan oleh minyak nabati lokal India. “Saya menyarankan menteri perdagangan langsung kontak pemerintah India agar CPO Indonesia mendapat fasilitas khusus,” ujar Bhima, dikutip dari Kontan.
Bhima menambahkan, dengan kondisi ketegangan Malaysia dan India, pemerintah bisa menurunkan bea keluar atau pajak CPO, sehingga harga jual produk Indonesia akan lebih murah.
Dengan momentum ekspor CPO ke India, Bhima menyatakan akan berdampak pada berkurangnya suplai ke program mandatory B30. Bhima menyarankan agar pemerintah lebih difokuskan untuk mendorong ekspor ke India daripada program B30.
“Sebenarnya B30 dari sisi alat berat, otomotif, dan mesin industrinya belum siap, jadi lebih baik difokuskan untuk mendorong ekspor ke India,” ujar Bhima.
Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI) Kanya Lakshmi Sidarta mengatakan, permintaan CPO ke India tidak akan terlalu besar.
“Menurut saya tidak akan terlalu besar, karena yang dihitung adalah kombinasi antara tarif,” ujar Kanya.
Menurut Kanya, program B30 akan membuat ekspor CPO menjadi turun. Karena program B30 bersifat mandatory dan harus dikerjakan.
“Ekspor memang diharapkan meningkat, tetapi yang diharapkan adalah produk yang lebih hilir,” ujar Kanya.
Untuk produksi CPO tahun 2020, Kanya memprediksi produksi CPO akan meningkat tipis. Hal ini terjadi karena iklim yang kering dan kurang baik di tahun 2019.