JAKARTA, GLOBALPLANET - Gabungan Industri Minyak Nabati (GIMNI) menyatakan industri biohidrokarbon akan menyerap hingga 40 persen dari total produksi CPO nasional. Adapun, pabrikan emulsifier dan pelumas akan menyerap 15-20 persen.
Sementara itu, industri oleopangan domestik tetap akan mempertahankan posisi serapan di level 30 persen, sedangkan serapan industri oleokimia belum berubah banyak atau di sekitar 10-15 persen.
Ketua Umum GIMNI, Sahat Saragih menyatakan, pergeseran hilirisasi tersebut disebabkan oleh nilai tambah bahan baku biohidrokarbon, pelumas, dan emulsifier lebih menarik daripada produk tradisional.
Menurutnya, pengubahan CPO menjadi Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil (RBDPO) atau oleopangan hanya memiliki nilai tambah senilai US$18/ton. Sementara itu, pengubahan CPO menjadi FAME maupun green diesel memiliki nilai tambah sekitar US$150/ton, sedangkan pengubahan menjadi bahan baku pelumas mencapai US$200/ton.
"Jadi, sudah berlomba ke teknologi-teknologi bernilai tambah yang lebih tinggi, itu yang menarik. Oleh karena itu, kita punya fiscal system perlu diperbaiki," katanya, dikutip dari Bisnis.
Sahat menyatakan perkembangan penghiliran industri sawit saat ini tumbuh stagnan. Menurutnya, pemerintah setidaknya perlu melakukan dua hal agar proyeksi serapan CPO ke dalam negeri dapat menigkat hingga 2025, yakni penyesuaian sistem fiskal dan perbaikan sistem logistik.
Sahat mengatakan selisih dana pungutan antara CPO dan produk hilir seperti RBDPO saat ini hanya US$20. Menurutnya, investasi penghiliran pabrikan sawit akan deras jika pemerintah mau meningkatkan selisih itu menjadi US$35 dolar atau membuat dana pungutan produk hilir sawit menjadi US$15 dari US$30.
Di sisi lain, Sahat berpendapat sistem logistik di dalam negeri tidak kompetitif dari sisi biaya. Malaysia, ujarnya, memiliki sistem logistik yang membuat biaya logistik sawit Malaysia lebih rendah sekitar 45 persen daripada di dalam negeri.