JAKARTA, GLOBALPLANET - Sepanjang pekan ini, CPO mencatat penguatan 2,68% ke RM 2.304/ton, berdasarkan data Refinitiv. Dalam empat hari perdagangan (satu hari libur Jumat Agung), harga CPO mampu menguat dalam tiga hari beruntun.
Pandemi Covid-19 yang "menyerang" 185 negara/wilayah termasuk Malaysia membuat pemerintahnya mengambil kebijakan karantina wilayah (lockdown) bahkan kembali diperpanjang. Hal ini tentunya membuat suplai dari Malaysia berkurang.
Sabtu kemarin, Pemerintah Malaysia resmi memperpanjang lockdown selama dua pekan lagi dari 15 April hingga 28 April 2020. Ini kali kedua negara itu memperpanjang lockdown sejak diberlakukan 18 Maret lalu.
Perdana Menteri Malaysia Muhyiddin Yassin mengatakan ini upaya pemerintah untuk mengurangi penyebaran virus yang pertama ditemukan di Wuhan, China, tersebut. Perpanjangan juga sesuai dengan arahan Kementerian Kesehatan dan pakar medis Malaysia.
Lockdown untuk membendung penyebaran wabah Covid-19 diperkirakan menurunkan produksi minyak sawit Malaysia periode 2019/20 menjadi 18,8 juta ton atau turun 1% dari update terakhir.
Meskipun hasil panen biasanya lebih tinggi pada kuartal kedua, tetapi lockdown yang belum pernah terjadi di Negeri Jiran telah mengganggu rantai pasok minyak sawit. Wilayah penghasil terbesar Malaysia, Sabah, yang menyumbang 25% dari total produksi Malaysia, bisa menjadi salah satu korban terbesar dari pembatasan tersebut.
Perkebunan dan pabrik dari enam kabupaten di Sabah termasuk Kalabakan, Semporna, Kunak, Kinabatangan, Tawau dan Lahad Datu (terhitung sekitar 75% dari produksi Sabah) telah diperintahkan untuk menghentikan operasinya. Hal ini akan menyebabkan hilangnya output yang signifikan.
Malaysia berisiko kehilangan 500.000 ton ton akibat 14 hari penghentian aktivitas operasional di perkebunan dan pabrik di enam distrik yang bertujuan membendung penyebaran virus corona, kata Asosiasi Minyak Sawit Malaysia, Selasa.
Di tempat lain, panen yang tertunda dan masalah logistik yang terhambat karena kurangnya personel untuk memanen dan lockdown juga akan menyebabkan produktivitas yang lebih rendah dari yang diperkirakan.
Indonesia, sebagai negara produsen terbesar CPO, memang belum menerapkan kebijakan lockdown, tetapi pemerintah sudah mengimbau untuk mengurangi aktivitas guna meredam penyebaran Covid-19.
Selain mengganggu suplai, permintaan atau demand juga terpukul akibat penurunan lockdown di negara konsumen terbesar seperti India dan China.
Analis ternama CPO, James Fry, bahkan memperingatkan harga CPO bisa menurun tajam.
"Estimasi kami selama lockdown China, demand yang hilang sekitar 1 bulan dibandingkan proyeksi sebelum terjadi pandemi COVID-19. Sebagian besar konsumsi CPO yang hilang tersebut tidak akan pernah diraih kembali" kata Fry sebagaimana dilansir Reuters.
Dalam jangka panjang, pelambatan ekonomi global juga membuat outlook demand masih belum bagus.
"Periode pemotongan upah dalam satu periode, atau penambahan pengangguran, akan memukul belanja konsumen hingga resesi yang tajam berakhir" tambahnya.
Akibatnya, tentu saja permintaan akan mengalami penurunan, dan harga CPO mengalami tekanan.