JAKARTA, GLOBALPLANET - Publikasi De Oliepalm (Hunger, 1917; Hunger, 1924) dan Investigations on Oilpalms (Rutgers et al.,1922) menjadi publikasi pertama yang menyebarkan informasi mengenai awal mula perkembangan kelapa sawit di Indonesia.
Tahun 1848 menjadi tahun yang sangat bersejarah bagi perkembangan kelapa sawit saat ini karena tahun tersebut merupakan pertama kali kelapa sawit diintroduksi ke Indonesia. Empat biji buah kelapa sawit dibawa dari dari Bourbon oleh pemerintah Kolonial Belanda untuk ditanam di Kebun Raya Bogor. Penanaman empat bibit kelapa sawit tersebut selain bagian dari koleksi palsma nutfah di Kebun Raya Bogor, tetapi juga sebagai proses aklimitisasi (adaptasi lingkungan) tanaman kelapa sawit.
Pada tahun 1858, Sekretaris Kantor Kolonial Belanda di Hindia Belanda mengajak Pemerintah a Belanda untuk menanam kelapa sawit di Indonesia. Selanjutnya, sebanyak 146 lot benih kelapa sawit didistribusikan ke Jawa, Madura, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara. Sebelum 1860, pemerintah Kolonial Belanda juga mengembangkan kebun percobaan kelapa sawit yaitu sekitar 3.4 hektar di Banyumas dan 0.74 hektar di Palembang.
Kemudian di tahun 1875, benih kelapa sawit yang berasal dari Kebun Raya Bogor dikirim dan ditanam di Distrik Deli Sumatra dan empat tahun kemudian dilaporkan tumbuh dengan sangat baik. Minimnya publikasi mengenai manfaat kelapa sawit pada masa tersebut menyebabkan tidak adanya industri perkebunan kelapa sawit sebelum 1911.
Namun di era Revolusi Industri yang terjadi pada pertengahan abad ke-19, terjadi peningkatan permintaan minyak nabati, salah satunya minyak sawit. Oleh karena itu, kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial di Hindia Belanda sejak tahun 1911. Salah satu pengusaha merupakan warga negara Belgia bernama Adrien Hallet yang mengembangkan perkebunan kelapa sawit di wilayah Sumatera bagian Timur yang mencakup Pulo Raja (Asahan) dan Sungai Liput (Aceh).
Pada saat yang bersamaan, perkebunana sawit juga dikembangkan oleh K. Schadt, seorang warga negara berkebangsaan Jerman, yang menanam 2 ribu bibit kelapa sawit di Tanah Itam Ulu. Hal tersebut menjadi tanda lahirnya perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
Pada era kolonial, tatanan perkebunan kelapa sawit baik di Hindia Belanda (Indonesia) maupun Semenanjung Malaya (Malaysia) umumnya dilakukan oleh perusahaan swasta asing yang memiliki ciri khas yakni investasi padat modal dan padat tenaga buruh.
Keberhasilan ujicoba komersial tersebut mendorong pengembangan kebun sawit komersial dengan skala yang lebih masif. Pengolahan buah kelapa sawit juga sudah mulai dilakukan di pabrik pengolahan kelapa sawit yang pertama kali dibangun di Sei Liput tahun 1918. Selain itu, ekspor minyak sawit (CPO) Indonesia juga pertama kali dilakukan pada tahun 1919.
Pada zaman kedudukan Jepang, perkembangan usaha perkebunan kelapa sawit mengalami penyusutan hampir sebesar 16% dari total luas perkebunan eksisting. Ekspor CPO Indonesia pernah mencapai 250 ribu ton di tahun 1940, namun produksi minyak sawit terus mengalami penurunan dengan hanya mencapai 56 ribu ton pada tahun 1948. Pada periode tersebut, kemunduran perkebunan dan pabrik kelapa sawit juga semakin terlihat yang ditunjukkan dengan digantikannya kelapa sawit dengan tanaman pangan. Kondisi ini menandakan kegiatan industri kelapa sawit terhenti di masa kolonialisme Jepang.
Kini, perkebunan sawit telah berkembang pada di lebih 255 kabupaten mulai dari Aceh sampai ke Papua. Di daerah-daerah tersebut kebun sawit telah memberikan multifungsi untuk masyarakat baik di Indonesia, maupun masyarakat dunia. Dari empat bibit sawit yang ditanam di Kebun Raya Bogor, kini telah mengantarkan Indonesia menjadi produsen minyak sawit terbesar dunia sejak tahun 2006 dan menghasilkan devisa untuk Indonesia milyaran dollar Amerika Serikat setiap tahunnya. Bahkan ditengah pandemi dan ancaman resesi ekonomi global yang terjadi saat ini, industri sawit sekali lagi mampu menjadi lokomotif bangsa yang menggerakkan dan menyelamatkan perekonomian Indonesia.