JAKARTA, GLOBALPLANET - “Tarif pungutan ekspor harus mendukung pertumbuhan usaha hulu, hilir, dan juga kesejahteraan petani kelapa sawit,” kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono seperti kutip Sawit Indonesia, Kamis (27/5/2021).
Untuk mencapai keseimbangan tersebut, GAPKI mengusulkan penyesuaian tarif pungutan ekspor sawit dalam PMK 191/2020.
“Kebijakan tarif pungutan ini diterapkan agar sektor hulu dan hilir sawit dapat berjalan. Bukannya sektor lain lebih menikmati lalu sektor lain lebih terbebani,” kata Joko Supriyono.
Ia mengatakan kelemahan sistem tarif pungutan sawit saat ini terlalu berpatokan kepada harga patokan ekspor (HPE) CPO. Sejatinya, pungutan ini bertujuan mendukung mandatori biodiesel. Dana pungutan digunakan untuk menutup selisih harga minyak bumi dengan biodiesel. Ini artinya harus disesuaikan dengan kebutuhan pembiayaan program biodiesel.
Atas dasar itulah, pungutan harus dibuat sejalan dengan kebutuhan mandatori B30 yang berjalan sekarang ini. “Sekarang ini, tidak ideal karena tarif dipungut itu berdasarkan kepada tingginya harga CPO. Sehingga dana pungutan yang diperoleh sangat besar. Padahal besaran dana pungutan tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan pembiayaan program biodiesel. Karena kebutuhan biodiesel dan program lain-lain tidak sebesar itu,” jelasnya.
Saat ini, dikatakan Joko, ada surplus dana pungutan yang terlalu besar. Padahal, kebutuhan menjalankan program sawit di bawah BPDKS masih tercukupi. Sebagai perhitungan, harga CPO dunia sekarang ini rerata US$ 1.200 dolar per ton. Harga sebesar ini akan terpangkas tarif pungutan sebesar US$ 255/ton dan US$ 183/ton untuk bea keluar sesuai regulasi pemerintah. Ini artinya, perusahaan yang mengekspor CPO akan menerima US$ 762 per ton setelah dipotong pungutan ekspor dan bea keluar.
“Dengan tarif pungutan tadi, ada opportunity lost saat harga CPO lagi bagus. Idealnya, perusahaan dapat melakukan investasi karena menikmati margin bagus,” ujar Joko.
Joko mengatakan pungutan sebaiknya jangan dibebankan terlalu besar. Selain itu, besaran pungutan harus disesuaikan dengan kebutuhan program sawit. Tujuannya, perusahaan di sektor tetap dapat melakukan investasi dan tidak kehilangan kesempatan dalam rangka penyerapan tenaga kerja.
“Penyesuaian tarif pungutan tetap berpatokan kepada kebutuhan mandatori biodiesel, PSR, dan program sawit lainnya. Kami juga tidak setuju tarif pungutan sawit dihilangkan. Karena manfaat pungutan sangat dirasakan untuk mendukung kebijakan hilir, peremajaan sawit rakyat, dan kampanye positif,” papar lulusan Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada ini.
Namun, dikatakan Joko, sistem tarif pungutan harus dinamis dan fleksibel sesuai kondisi industri sawit di dalam dan luar negeri. Ada saatnya, tarif dinaikkan tapi ada pula diturunkan agar semua sektor sawit dapat berjalan beriringan dan berkelanjutan.
Joko optimistis penyesuaian tarif pungutan ekspor tidak akan mengganggu harga TBS sawit petani. Sebab, besar kecilnya harga TBS dipengaruhi banyak faktor terutama harga CPO dunia. Saat ini, harga CPO tinggi tidak saja dipengaruhi mandatori biodiesel Indonesia. Melainkan juga pasokan minyak nabati lain seperti minyak kedelai dan bunga matahari.