loader

3 Fase FPKM Sawit: Pekebun dan Petani Harus Tahu

Foto

PALEMBANG, GLOBALPLANET - Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat atau FPKM menjadi topik Ngobrol Pintar Masalah Sawit (Ngopi Masa) gelaran GAPKI Cabang Sumatera Selatan. Diskusi membahas penguatan kemitraan ini menghadirkan pembicara dan penanggap Kepala Dinas Perkebunan Sumsel dan Dinas Perkebunan dan Peternakan OKI.

Hadir sebagai peserta pimpinan atau manajemen perusahaan sawit anggota GAPKI di Sumatera Selatan. Dalam diskusi dengan moderator Kabid Komunikasi Publikasi dan Kampanye Positif GAPKI Sumsel Anung Riyanta, mengemuka sejumlah hal terkait penerapan FPKM, mulai dari fase pelaksanaan hingga kendala lahan.

Seperti disampaikan Kepala Bidang Kelembagaan Usaha Perkebunan Dinas Perkebunan Sumsel, Ikhwansyah dalam materinya. Berdasarkan surat edaran Dirjenbun No: B-347/KB.410/E/07/2023 Tentang FPKM. "Terdapat tiga tahapan atau fase dalam FPKM," katanya dalam kegiatan, Kamis (21/3/2024).

Fase pertama, perusahaan perkebunan yang memiliki perizinan usaha perkebunan sebelum tanggal 28 Februari 2007.

Perusahaan perkebunan Fase I yang telah melaksanakan kemitraan melalui pola PIR-BUN, PIR-TRNS, PIR-KKPA atau pola kemitraan kerja sama inti-plasma lainnya dianggap telah melakukan FPKM dan tidak dikenakan kembali kewajiban FPKM. Hal ini sesuai pasal 60 ayat (1) Permentan 98/2013).

Sementara perusahaan yang tidak melaksanakan kemitraan wajib melakukan usaha produktif untuk masyarakat sekitar berdasarkan kesepakatan diketahui gubernur atau bupati/wali kota sesuai kewenangan.

Fase kedua, perusahaan dengan perizinan usaha perkebunan setelah tanggal 28 Februari 2007 sampai dengan 2 November 2020. 

Perusahaan perkebunan Fase II dengan luas 250 hektar atau lebih yang belum melaksanakan FPKM, wajib melaksanakan FPKM paling kurang 20% dari luas IUP-B atau IUP. Kebun masyarakat yang dimaksud diluar IUP-B atau IUP.

Dalam kasus tidak terdapat lahan untuk dilakukan FPKM sesuai lokasi dalam kewenangan penerbit perizinan, maka dilakukan kegiatan untuk usaha produktif sesuai kesepakatan antara perusahaan dengan masyarakat dan diketahui kepala dinas perkebunan provinsi atau kabupaten/kota. Adapun bentuk kemitraan untuk usaha produktif mengacu Permentan No.18 tahun 2021.

Fase ketiga, perusahaan perkebunan dengan perizinan setelah tanggal 2 November 2020. Perusahaan perkebunan yang mendapatkan perizinan berusaha untuk budi daya yang seluruh atau sebagian lahannya berasal dari area penggunaan lain di luar HGU dan/atau areal pelepasan kawasan hutan, wajib FPKM seluas 20% dari luas lahan tersebut (Ps 58 ayat (1) UU 6/2023 dan Ps 12 ayat (1) PP 26/2021).

Sementara itu, Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan Kabupaten OKI Deddy Kurniawan menuturkan, pada pelaksanaan di lapangan masih terdapat sejumlah kendala terutama masalah lahan.

"Seperti contoh di Kecamatan Kayuagung ada tiga perusahan yang tidak ada lahan lagi untuk FPKM. Yang ada lahan untuk sawah. Masalahnya lagi, ketika sawit mahal, warga maunya sawit. Kalau dipaksakan jadi pidana, karena lahan itu untuk sawah," katanya.

Ketua GAPKI Cabang Sumatera Selatan Alex Sugiarto menyebutkan anggota GAPKI umumnya sudah punya atau merealisasikan plasma. Sebetulnya plasma itu sama istilahnya dengan FPKM yang merupakan terobosan untuk mengatasi kendala-kendala dalam realisasi kemitraan.

"Oke perusahaan mau bangun kebun, tidak ada lagi lahan, kita bisa fasilitasi dalam bentuk lain, masyarakat maunya apa? Misalnya bangun (cetak) sawah, atau peternakan sapi seperti di Kalimantan," katanya kepada globalplanet.

Dengan pola FPKM banyak opsi yang dapat dilakukan. Namun begitu dalam pelaksanaan masih menjadi pertanyaan hitungan nilai optimum.

"Rumusan nilai optimum sudah, namun aturan mainnya belum fix karena itu GAPKI Cabang Sumsel menggelar Ngopi Masa untuk duduk diskusi," kata Alex.

Diketahui, Kementan melalui Dirjen Perkebunan telah mengeluarkan SK No: 152/Kpts/HK.160/12/2023 Tentang Pedoman Penghitungan dan Penetapan Nilai Optimum Produksi Kebun yang Diusahakan Perusahaan Perkebunan.

 

Share

Ads