BANDUNG, GLOBALPLANET - Perkebunan sawit secara komersil sudah lebih satu abad. Regim kolonialisme datang juga membawa pemilik modal. Menurut catatan, mereka memulai usaha tahun 1911 di Sumatera Utara dan Aceh. Namun jejak sawit bermula tahun 1848.
Nama Dr. D.T. Pryce tercatat berjasa mendatangkan 2 benih dari Muiritius Afrika Barat dan 2 benih dari Amesterdam Belanda untuk ditanam sebagai tanaman koleksi (sekarang) Kebun Raya Bogor. Jelas sawit adalah tanaman "imigran" pembawa berkah.
Ironinya, dimulai bangsa Eropa (Belanda). Diteliti dan berkembang berkat ketekunan talenta anak negeri. Setelah berkembang, sayangnya kini justru diganyang oleh bangsa Eropa pula. Jejak paradoks.
Seiring waktu, Sawit Indonesia membangun jejak berbeda. Jejak kemajuan. Kita harus membilas jejak eksploitatif dan feodalisme kolonial. Perkebunan sawit juga mewarisi dominasi laki-laki (male-dominated).
Alasanya sederhana. Perempuan dianggap tidak cocok dan berbahaya bekerja di sawit. Selain itu, jender belum atau tidak dipahami. Jadi belum menjadi perhatian. Namun jaman sudah berubah. PBB dan negara dunia, sepakat mewujudkan kesetaraan jender.
Masuk dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan SDGs No 5 Gender Equality. Dalam dunia bisnis, jender dengan segala aspeknya kini sudah menjadi indikator dan tujuan. Bahkan syarat wajib. Tidak boleh ada diskriminasi pekerja perempuan dan laki-laki. Harus punya akses dan kesempatan yang sama dalam jabatan dan jenjang karir.
Tak ketinggalan industri sawit. Kesadaran akan jender (gender responsive) kini bergerak maju. Bahkan mungkin lebih maju dari sektor sejenis. Tentu sektor keuangan berbeda dan bukan bandingan sepadan. Sawit adalah sektor "menantang". Bagian dari pertanian di perdesaan. Alam terbuka, daerah pelosok dengan akses dan infrastruktur terbatas.
Kini sejumlah perempuan telah menjadi pimpinan senior bahkan puncak di beberapa perusahaan sawit. Tidak sedikit perusahaan memasang kuota berani. Ada yang mematok 20-30 persen harus ada di setiap level pemimpin (supervisor hingga direksi). Instrumen lain seperti Komite Perempuan dan Rumah Perlindungan Pekerja Perempuan & Anak (RP3A) pun bertumbuh di unit kerja perkebunan. Semua wadah ini dipimpin perempuan untuk melayani perempuan.
Tak berlebihan industri sawit berani mendeklarasikan "Sawit Indonesia Ramah Perempuan". Sebagai bagian menyatu dari "Sawit Indonesia Ramah Anak".
Anak dan perempuan menjadi kunci Indonesia Emas 2045. Untuk itu peran dan komitmen sawit semakin penting. Hal ini diteguhkan kembali di tengah Rakernas Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit - GAPKI 2045 di Bandung. Deklarasi yang dikordinir oleh Sumarjono Saragih (Ketua GAPKI Bidang Pengembangan SDM). Didampingi oleh 6 orang pemimpin perempuan di berbagai perusahaan sawit. (Sesuai foto di atas, dari kiri ke kanan: Lolita Bangun, Indah Permata, Marja Yulianti, Feny A Sofyan, Lisna dan Susi Darma Wati).
By
Sumarjono Saragih
- Ketua GAPKI Bidang Pengembangan SDM
- Founder-Chairman WISPO (Worker Initiatives for Sustainable Palm Oil