GLOBALPLANET - Entah itu harimau pelaku yang berkonflik dengan manusia atau tidak, yang jelas satu Kucing Belang sudah berhasil “diamankan”. Untuk beberapa waktu, warga yang berada di sekitar lokasi, sedikit bernafas lega. Selesaikah masalah semuanya? Belum bisa dipastikan.
Tahun 2014-2015 lalu, saya pernah melakukan riset di daerah Semende, Muara Enim, Sumatera Selatan. Lokasi yang berdekatan dan bahkan berada di wilayah yang berkonflik dengan harimau tersebut. Saat itu, bisa dikatakan suasana sangat aman, bahkan saya bisa masuk ke kebun-kebun kopi penduduk, sampai jauh ke atas pegunungan, tanpa takut ancaman Harimau. Penduduk berkata, “Dide ghimau dikebon ni, biasenye ngindar tu lah amon tahu ade manusie (tidak ada Harimau di kebun ini, biasanya menghindar kalau tahu ada manusia)”.
Tetapi fakta belakangan cukup mengejutkan bahwa harimau seolah-olah kemudian menjadi musuh bagi manusia. Tak dipungkiri memang karena sudah tercatat sedikitnya 5 warga tewas diterkam raja hutan ini di akhir 2019. Peristiwa itu terjadi Lahat, Pagar Alam dan Muara Enim.
Harimau sendiri adalah hewan predator yang masuk dalam katagori satwa dilindungi karena populasinya terus menurun. Dalam kajian ekologi, harimau menduduki puncak rantai makanan, sehingga ia kerap disebut sebagai penguasa rimba. Adanya harimau sebetulnya adalah indikasi bahwa kondisi hutan tersebut masih tergolong baik, sebaliknya jika ia tak ada lagi, berarti hutan sudah rusak. Harimau jelas memiliki fungsi penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem yang ada.
Terjadinya konflik manusia dengan Harimau, sebetulnya bisa dilihat sebagai sebuah kondisi keterpaksaan. Dikatakan keterpaksaan karena pada dasarnya Harimau adalah binatang yang memiliki hubungan khusus dengan manusia. Kita bisa lihat dalam sejarah berbagai masyarakat, selalu ada perlakuan khusus terhadap hewan ini. Perlakuan ini setidaknya tampak dari sebutan-sebutan yang diberikan masyarakat pada hewan buas ini. Orang Minang biasa menyebut Harimau dengan istilah Nenek/Datuk/Inyiak. Orang Sumsel biasa memanggilnya dengan Nenek/Nining, begitu juga dengan daerah lain. Sebutan-sebutan itu, jelas menunjukkan bahwa Harimau adalah “kerabat” bagi manusia. “Kerabat” yang sosoknya sangat dihormati, disegani dan bahkan ditakuti.
Riset saya di Semende Darat Ulu, Sumsel menunjukkan bahwa di komunitas Semende, setidaknya terdapat tiga jenis hewan buas yang semuanya punya perlakuan sendiri oleh masyarakat. Pertama, Harimau. Hewan ini dikatagorikan sebagai hewan yang ditakuti, dihindari, tapi bukanlah binatang yang dibenci. Sebutan “nineng” pada Harimau menunjukkan bahwa tak ada kebencian disitu. Tetapi masyarakat berusaha menghindar karena memang ditakuti. Kedua, Beruang. Hewan ini mirip perlakuannya dengan Harimau, ditakuti, dihindari, tapi tidak dibenci.
Disebabkan kedua jenis hewan ini tidak dibenci, maka masyarakatpun punya tanda-tanda khusus untuk mendeteksi kehadirannya. Jika sedang musim durian dan disekitar pohon itu banyak ditemukan serakan kulit durian, dipastikan disitu ada Harimau atau minimal pernah didatanginya. Masyarakat juga bisa lihat dari jejak yang ditinggalkan. Begitupun, jika di sekitar kebun ditemukan ada pohon-pohon yang tampak seperti bekas cakaran, dipastikan disitu ada atau pernah didatangi Beruang. Tetapi pernahkah masyarakat melakukan perburuan Harimau atau Beruang? Setahu saya belum pernah, karena memang tak perlu diburu.
Ketiga, babi hutan. Hewan ini adalah jenis hewan buas yang ditakuti, sekaligus dibenci manusia. Penyebabnya karena memang babi hutan seringkali merusak pertanian warga. Karenanya, menjadi hal yang biasa jika warga sering melakukan kegiatan berburu babi hutan.
Harimau tidak dibenci karena memang menurut kepercayaan masyarakat, Harimau tidak akan menganggu manusia, ia tidak menyukai daging manusia. Ini kemudian berkorelasi dengan berbagai legenda dan dongeng yang menceritakan bagaimana Harimau adalah salah satu anggota keluarga. Istilah “Manusia Harimau”, atau “Harimau Jadi-Jadian” adalah bagian dari kepercayaan yang mengagungkan posisi hewan ini.
Oleh karena itu, ketika sekarang banyak terjadi konflik manusia dengan Harimau, hemat saya inilah bentuk “keterpaksaan” yang mengharuskannya berkonflik. Harimau tetaplah seekor hewan, yang nalurinya adalah mencari dan mendapatkan makanan. Pada saat sumber makanan masih bisa dicari (rusa, babi hutan, kijang dan sebagainya), sangat kecil kemungkinan ia akan sengaja menerkam manusia. Pengetahuan lokal masyarakat banyak bicara tentang ini. Namun, saat bahan makanan tak ada lagi, berlaku pepatah, “tak ada rotan akarpun jadi”, sangat alamiah dan logis sekali.
Atas dasar itu, maka melihat konflik Harimau sekarang ini, solusi terbaik bukanlah menangkap atau membunuhnya, tapi menjaga tetap terjaganya kebutuhan pangan hewan buas ini. Andai konflik terus terjadi, Harimau diburu dan ditangkap, menurut saya ini tak ubahnya kalah jadi abu menang jadi arang. Mungkin Harimau akan mati, punah, tapi efeknya satu mata rantai keseimbangan ekosistem sudah hilang.
Saat ini, di Sumsel sedang musim durian. Seantero kota banyak dijual buah ranum dan harum ini. Bagi warga desa, sebagaimana di Semende, merebaknya aroma durian sekaligus juga jadi tanda bahwa Sang Raja Hutan akan turun mencari makanan. Musim durian adalah musimnya Harimau. Entah suatu saat nanti, mungkin durian sudah tak lagi di hutan, dan auman Harimau pertanda durian sedang masak, tak akan terdengar lagi. Yang jelas, ketiadaan atau kepunahan Harimau, bukanlah pertanda baik bagi keutuhan dan keserasian lingkungan.
Penulis: Dr. Yenrizal, M.Si. (Akademisi Komunikasi Lingkungan UIN Raden Fatah)