Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Arif Budiman mengakui bahwa pemilu di Indonesia dari masa ke masa sudah semakin baik dan membaik, bahkan sekarang menjadi yang terbaik di dunia. “Saya sangat bangga ketika menceritakan pemilu Indonesia di luar negeri, pasalnya orang asing terkagum akan sistem pemilu kita. Tak heran jika sekarang minim pemantau dan justru banyak orang asing datang ke Indonesia untuk belajar,” ucap Arif Budiman pada forum Sekolah Politisi Muda (SPM) IV tingkat II SATUNAMA, Selasa (15/12/2020).
Yuliani Widianingsih, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UPN Veteran Jakarta dalam salah satu penelitiannya bertajuk “Demokrasi dan Pemilu di Indonesia” (2017) menyebutkan bahwa pemilu-pemilu Indonesia pasca Orde Baru sudah memenuhi sejumlah kriteria untuk disebut pemilu yang free dan fair.
Bertolak belakang dengan yang di atas, pemilu semasa jaman Orde Baru nyatanya menjadi rapor merah dalam sejarah pemilu di Indonesia. Dilansir dari situs Tirto.id, rekor kecurangan pemilu di Indonesia dipegang oleh Orde Baru. Disebutkan dalam situs itu juga bahwa kecurangan itu dilakukan melalui berbagai cara: Deretan birokrat diperalat untuk memobilisasi rakyat memilih Golkar, ada rekayasa kerusuhan untuk mendiskreditkan individu tertentu yang berniat maju sebagai calon presiden, praktik monopoli media dan banyak lagi.
Perludem juga mencatat bahwa penyelenggaraan Pemilu Orde Baru sangat tidak netral, terlebih adanya tindakan recall (penarikan kembali) dan pembungkaman terhadap rakyat ataupun wakil rakyat yang dianggap terlalu kritis kepada pemerintah. Sehingga, jelas bahwa kualitas pemilu jaman Orde Baru dianggap rendah, dan bahkan tidak demokratis.
Lebih lanjut, dengan analisis teorinya Brennan, pemilu Indonesia masih terjatuh ke dalam jurang demokrasi yang formalistis bukan demokrasi yang subtantif. Maksudnya, masih ada pembiaran terhadap praktik-prakik jahat yang kontroversial dan terus langgeng. Sebagai gambaran misalnya, praktik money politic, politik identitas dengan memobilisasi unsur SARA, dan segala bentuk-bentuk praktik yang lain. Dalam aspek yuridis dari pemilu yang jujur dan adil juga masih dilegitimasi.
Sejalan dengan pendapat di atas, Bambang Widjojanto Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandi mengemukakan, “Yang paling mengerikan kalau menggunakan standar pemilu 1955, itu menjelaskan bahwa pemilu yang paling demokratis terjadi ketika awal kemerdekaan,” tegas Bambang dalam rekaman konferensi pers di laman Berita Satu.
Sebagaimana sering didengungkan oleh anggota BPN Prabowo-Sandi, alasan dari label buruk itu adalah klaim adanya kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif. Sama belaka dengan argumentasi tim kampanye Probowo pada Pemilu 2014 silam. Tapi, benarkah demikian? Jika kita kembali menilik pemilu-pemilu selama Orde Baru, agaknya label “terburuk” itu mesti dipikir ulang.
Pasalnya, kecurangan terstruktur, sistematis dan masif itu benar-benar terjadi kala bekas
mertua Prabowo berkuasa. Pemilu pertama di masa Orde Baru yang terjadi pada 1971 saja sudah dianggap sebagai demokrasi semu. Itulah saat pertama kali pula Golongan Karya (Golkar) sebagai kendaraan politik Orde Baru ikut pemilu. Berbagai daya upaya pun dilakukan rezim untuk memenangkan Golkar.
Titi Anggraini, sosok perempuan yang pernah menjadi Direktur Perludem periode 2010-2020 dalam kesempatan kegiatan SPM IV SATUNAMA Rabu, (16/12/20) memaparkan bahwa pemilu Indonesia hanya dibanjiri oleh ragam kontroversi yang sesungguhnya mencerminkan konsistensi dari sistem pemilu itu sendiri. “Kita memilih sistem, namun belum konsisten, sebab manajemen dan penegakan hukum yang masih rendah, sia-sia itu,” tutur Titi dikutup dari Media Intern/UGM Yogyakarta.
Dari pernyataan-pernyataan di atas pelaksanaan pemilu di Indonesia masih banyak memerlukan perbaikan-perbaikan agar terlaksana sesuai dengan asas dan ketentuan yang berlaku.
Penulis: Mohammad Amarul Uzlah
Mahasiswa UIN Raden Fatah Palembang
Disclaimer: Artikel dan isi tanggung jawab penulis