Transisi - demokrasi adalah titik awal yang di mana rezim otoritarian dan rezim demokratis. Transisi dimulai dari keruntuhan rezim otoritarian lama yang kemudian diikuti atau berakhir dengan pengesahan lembaga-lembaga politik dan aturan-aturan politik baru di bawah payung demokrasi. Pemilu merupakan bagian integral dalam negara demokratis, sebuah conditio sine qua non karena tanpa hadirnya negara, maka dianggap menanggalkan demokrasi.
Menurut Laporan The Economist Intellegence Unit (EIU), indeks demokrasi Indonesia tahun 2020 mencatat skor terendah dalam 14 tahun terakhir. Indonesia menduduki peringkat ke 64 dunia dengan skor 6.3, atau skornya menurun dari sebelumnya. Memang tidak semua negara yang berhasil menjatuhkan rezim otoriter berhasil keluar dari masa transisi dan mencapai konsolidasi demokrasi. Misalnya Angola, masa transisi berakhir dengan meledaknya perang saudara dengan kemudian mengembalikan kelangsungan rezim otoriter.
Dalam The Third World (1983) menyebut gejala itu sebagai siklus otoritarianisme. Menurutnya rekonsolidasi otoritarianisme itu merupakan gejala khas negara dunia ketiga. Mungkin inilah kenapa Samuel P Huntington (1995) pernah menyatakan bahwa perubahan melalui reformasi jauh lebih sulit daripada revolusi.
Pemilihan-pemilihan itu mencerminkan proses elektoral yang dikelola dan dikontrol sangat ketat sebagai hasil rancangan pemerintah yang kekuasaannya terutama berasal dari dukungan angkatan bersenjata untuk memperlihatkan keabsahannya kepada rakyat dan dunia luar sementara pada saat bersamaan menghindari sejauh mungkin pertarungan nyata antara kekuatan politik yang bersaing.
Pemilu pasca reformasi, yaitu pemilu tahun 1999 sampai 2019 memang terselenggara jauh lebih demokratis dibandingkan dengan pemilu di era rezim orde baru, walaupun secara hasil output dari demokrasi elektoral tersebut belum bisa mempercepat transisi demokrasi. Pelaksanaan pemilu harus memberikan peluang sepenuhnya kepada semua parpol untuk bersaing secara bebas, jujur, dan adil. Pelaksanaan pemilu betul dimaksudkan untuk memilih para wakil rakyat yang berkualitas, memiliki integritas moral dan yang paling penting wakil tersebut mewakil mencerminkan kehendak rakyat.
Pemilu yang demokratis merupakan sebuah keniscayaan, untuk itu dibutuhkan standar atau parameter untuk mengukur suatu pemilu tersebut. A Malik Haramain dan MF. Nurhuda Y (2000) menyebutkan ada beberapa acuan yang harus menjadi acuan agar pemilu benar menjadi parameter demokrasi.
Pelaksanaan pemilu harus dilaksanakan dengan perangkat peraturan yang mendukung asas-asas kebebasan dan kejujuran. Pemilu kehendaknya mempertimbangkan instrumen dan penyelenggaranya sehingga dapat mengganggu kemurnian pemilu. Sementara itu, pemilu harus lebih ditekankan pada manifestasi hak masyarakat negara Republik Indonesia.
Jika dikaitkan dengan pemilu, maka jalan keluar persoalan ini adalah pemilu harus benar dilaksanakan secara “Luber dan Jurdil". Dan Disini peran penting Bawaslu sebagai pengawas pemilu menjadi sangat penting, sehingga kendala demokrasi tersebut dapat ditanggulangi secara demokratis. Bawaslu sebagai lembaga negara independen yang lahir dari rahim demokrasi memang memiliki kewajiban untuk mewujudkan harapan reformasi. Terkonsolidasi demokrasi merupakan salah satu harapan reformasi, dan pemilu merupakan instrumen demokrasi untuk mencapainya.
Pemilu 2024 menurut penulis menjadi strategi, bukan karena pilkada juga diselenggarakan ditahun yang sama. Tapi pemilu 2024 bisa menjadi momentum politik untuk mengakhiri endgame fase transisi menuju konsolidasi demokrasi. Pemilu 2024 memang masih cukup lama, tapi tahapan penyelenggaraan pemilu sesuai Pasal 167 ayat 6 UU No.7/2017 dimulai paling lambat 20 bulan sebelum haris pemungutan suara. Sehingga, jika KPU mengusulkan pemungutan suara pemilu 2024 tanggal 21 Februari 2024, maka persiapan tahapan pemilu 2024 harus dimulai sekitar bulan juli 2022.
Secara teknis penyelenggara pemilu saat ini memang memiliki pengalaman pada pemilu 2019. Meskipun demikian menurut Fritz Edward Siregar, anggota Bawaslu RI tetap saja dibutuhkan perbaikan untuk hal-hal yang selama ini dianggap kurang misalnya ketentuan dalam PKPU dan perlu dimatangkan serta disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Maswadi Rauf menyebutkan ada 4 hal yang menjadi kendala demokratisasi di indonesia. Pertama, kecenderungan masyarakat memakai kekerasan. Kedua, politik uang atau Money politic. Ketiga, politik kekerabatan. Keempat, adanya anggapan demokrasi tidak membawa kesejahteraan, hal ini yang menurutnya memicu sikap anti demokrasi.
Ada pula menurut warga negara yang sudah memiliki hak pilih diharapkan tidak kehilangan hak karena tidak tercantum dalam daftar pemilih dan tak memiliki KTP elektronik. Karena pemerintah diharapkan dapat menyelesaikan proses perekaman sekaligus distribusi KTP elektronik. Untuk itu obsesi pemilu yang demokratis menurut penulis dapat terwujud pada pemilu 2024 ini akan menjadi sebuah pergantian para pemimpin.
Fritz berkata, mulai memetakan beberapa tantangan pemilu 2024 ini, diantaranya persoalan sumber daya, logistik, pendaftaran dan verifikasi partai politik, serta berpotensi sengketa pemilu dengan menyoroti persoalan pemutakhiran data pemilu.
Bawaslu peningkatan kualitas pengawasan pemilu nanti menjadi struktural hierarkis. Pengawasan berkualitas akan mampu menekan berbagai bentuk aspek kecurangan dalam suatu pemilu. Perlibatan partisipasi masyarakat dalam pengawasan merupakan keniscayaan dalam pengawas pemilu. Sehingga kader pengawas partisipatif yang sudah diberi pelatihan oleh Bawaslu menjadi strategis.
Kehadiran mereka di masyarakat setidaknya dapat memberikan tambahan energi pengawas pemilu dengan keberanian masyarakat untuk melaporkan setiap dugaan pelanggaran pemilu, baik dari pelanggaran administratif dan kode etik pemilu yang akan datang.
Penulis: Rizky Muhammad Putera
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang
(Disclaimer: Isi tulisan tanggung jawab penuh penulis)