JAKARTA, GLOBALPLANET - Tercatat lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang sudah tersertifikat RSPO seluas 2,045,859 ha termasuk di dalamnya adalah lahan petani plasma seluas 215.332 ha melibatkan sekitar 117.673 petani dan lahan petani swadaya sekitar 8.808 ha dengan melibatkan sebanyak 3.371 petani.
Masih merujuk data dari RSPO per Agustus 2019, produksi minyak sawit bersertifikat RSPO untuk petani plasma dan swadaya tercatat mencapai 4.076.607,49 ton berasal dari produksi minyak sawit berkelanjutan petani plasma sebanyak 3.897.176,03 ton dan produksi minyak sawit berkelanjutan dari petani swadaya sekitar 179.431,46 ton.
Namun demikian dikatakan Guntur Cahyo Prabowo dari RSPO Indonesia, capaian sertifikat minyak sawit berkelanjutan skema petani masih jauh dari harapan, lantas apa yang membuat angka jumlah petani yang bersertifikat RSPO itu lambat?
Dikatakan Guntur, lambatnya adopsi skema sertifikasi minyak sawit berkelanjutan ditingkat petani lebih banyak lantaran isu biaya, selama proses sertifikasi. Sejatinya proses sertifikasi RSPO untuk petani bisa berjalan hanya saja petani butuh dipandu dan dibimbing pihak ketiga.
Kendati demikian faktanya tidak seluruh petani lambat dalam mengadopsi skema minyak sawit berkelanjutan, sebab ada pula beberapa kelompok tani yang langsung mampu menerapkan skema minyak sawit berkelanjutan.
“Sebab itu kita butuh pihak ketiga yang bisa mendampingi, apalagi bila kemudian berhadapan dengan aspek legalitas dan pembentukan kelompok tani. Ini yang harus jadi perhatian utama,” kata Guntur dalam acara FGD Minyak Sawit Berkelanjutan: Diskusi Sawit Bagi Negeri Vol 4 yang diadakan Infosawit di Jakarta, belum lama ini.
Cara demikian perlu dilakukan lantaran sebelum memulai proses sertifikasi minyak sawit berkelanjutan, petani sawit swadaya, dituntut untuk membentuk kelompok yang berbadan hukum supaya mudah prosesnya serta memiliki posisi tawar yang kuat pada saat menjual buah sawit ke pabrik dan tidak ke tengkulak.
Termasuk memastikan seluruh legalitas lahan terpenuhi tidak ada yang membudidayakan kelapa sawit di kawasan hutan.
Kata Guntur, banyak pertanyaan dari petani bahwa saat setelah mendapat sertifikat minyak sawit berkelanjutan apakah harga Tandan Buah Segar (TBS) sawitnya bisa naik, oleh karena itu butuh pendampingan dan pemahaman yang mendalam mengenai praktik kelapa sawit berkelanjutan dikutip dari Info Sawit.
Lantaran bila sudah mengikuti skema sertifikasi minyak sawit berkelanjutan petani didorong untuk menerapkan praktik budidaya kelapa sawit terbaik (Good Agricultural Practicess/GAP), lanjut Guntur, dengan menerapkan GAP produksi kebun sawit yang dikelola petani diharapkan bakal naik, implikasinya pendapatan petani swadaya juga terdongkrak.
“Terlebih petani menjual buah sawit langsung ke pabrik maka bakal memperoleh harga lebih baik ketimbang lewat tengkulak,” katanya.