JAKARTA, GLOBALPLANET - Kebijakan tersebut dianggap telah mendiskriminasi minyak kelapa sawit Indonesia dan menciderai prinsip perdagangan bebas.
Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga menjelaskan, Indonesia memiliki dua alasan kuat untuk memenangkan gugatan. Pertama, karena adanya ketidaksesuaian dengan prinsip keadilan. Kedua, Uni Eropa dianggap tak konsisten dalam menjalankan prinsip perdagangan bebas dengan kecenderungan memblokade produk sawit.
"Itu hal yang kontradiktif tidak sesuai dengan perdagangan bebas (free trade) yang selalu digembar-gemborkan (Uni Eropa)," kata Jerry, dikutip dari katadata, Selasa (7/1/2020).
Namun demikian, rencana gugatan dianggap tidak akan mempengaruhi hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Uni Eropa. Sebab, hubungan diplomatik dan gugatan perdagangan merupakan hal yang berbeda.
Menurutnya, setiap negara diberi hak untuk menuntut kebijakan-kebijakan yang dirasa merugikan atau tidak adil. Sementara itu, negara lain wajib menghormati setiap keputusan yang akan diambil.
"Itu (gugatan) tidak ada kaitannya dengan hubungan diplomatik, ini hanya karena perbedaan prinsip," kata Jerry.
Sebagaimana diketahui, pemerintah secara resmi menggugat Uni Eropa terkait diskriminasi kelapa sawit ke WTO di Jenewa, Swiss pada Senin (9/12).
Kebijakan Uni Eropa Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation Uni Eropa digugat lantaran dinilai mendiskriminasi dan membatasi akses pasar minyak kelapa sawit dan biofuel dari Indonesia.
Dampaknya, ekspor produk kelapa sawit Indonesia di pasar Uni Eropa berpotensi menurun. Di sisi lain, kebijakan itu juga seolah-olah menjadikan produk kelapa sawit mendapat citra buruk di perdagangan global.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat ekspor seluruh produk minyak sawit Agustus 2019 mencapai 2,89 juta ton atau turun 25 ribu ton dibandingkan bulan sebelumnya. Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono mengatakan penurunan ekspor terjadi karena berkurangnya permintaan dari India, Bangladesh, Pakistan, dan Uni Eropa (UE).
Penurunan ekspor terjadi pada komoditas minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) dan biodiesel. "Ekspor biodiesel pada Agustus juga mengalami penurunan dibandingkan bulan Juli," kata Mukti di kantornya, Jakarta, Kamis (17/10).
Sepanjang Januari hingga Agustus 2019, ekspor minyak kelapa sawit mencapai 22,65 juta ton. Jumlah tersebut meningkat 3,8% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Ekspor kelapa sawit yang turun tidak terlepas dari pelarangan ekspor CPO ke Uni Eropa. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekspor minyak sawit Indonesia ke Eropa pada 2017 bisa mencapai 5,1 juta ton dengan nilai US$ 3,6 miliar atau sekitar Rp 48,1 triliun.
Ekspor CPO Indonesia ke Benua Biru tersebut mencapai 17,85% dari total ekspor CPO nasional sebesar 28,76 juta ton.