JAKARTA, GLOBALPLANET - Bahkan menurut Mahendra, minyak sawit yang sebagian besar diproduksi di RI, lebih berkelanjutan (sustainable) dan ramah lingkungan. Bahkan jika dibandingkan dengan beberapa produk minyak nabati lainnya. Sehingga jelas, kata dia, upaya yang diterapkan UE bukan hanya bertujuan untuk melindungi lingkungan semata.
Hal itu disampaikan Mahendra saat menghadiri seminar "Policy Dialog Strategic Bioenergy in Indonesia and Sweden" di Jakarta, Rabu (11/3/2020). Acara ini merupakan salah satu upaya RI dan Swedia untuk mempromosikan penggunaan dan juga penelitian lebih lanjut dari sustainable bioenergy, termasuk kelapa sawit.
"Yang saya sampaikan adalah Sustainable Development Goals (SDGs) yang adalah suatu komitmen dan juga target bersama dunia di bawah lingkup PBB yang ingin kita capai," ujarnya, dikutip dari CNBC Indonesia.
"Jadi jangan hanya memilih satu atau dua target lalu kemudian menerapkannya seakan-akan itu menjadi target global. Seperti yang dilakukan dalam kebijakan UE- Renewable Energy Directive- dengan tunjuk pelaksanaannya yang menurut kami tidak tepat. Karena tidak menggunakan parameter yang menyeluruh, yang objektif, komprehensif dan diakui internasional," tambahnya.
Renewable Energy Directive merupakan kebijakan terkait produksi dan promosi energi dari sumber terbarukan di UE. Ini mengharuskan kawasan itu untuk memenuhi 20% dari total kebutuhan energinya dengan energi terbarukan di 2020.
Namun UE merevisi aturan tersebut pada awal 2019 lalu. Dengan Arahan Energi Terbarukan II (Renewable Energy Directive/RED II), penggunaan energi terbarukan untuk tahun 2030 jadi lebih banyak yakni 32%.
Namun demikian isinya dan aturan turunannya, dianggap pemerintah RI mendiskriminasi kelapa sawit dari tanaman penghasil minyak nabati lainnya (kedelai, rapeseed, bunga matahari) dalam memenuhi persyaratan untuk diterima sebagai bahan baku untuk bahan bakar nabati (biofuel) yang berkelanjutan di pasar Eropa.
Lebih lanjut, Mahendra menjelaskan bahwa langkah UE menerbitkan aturan itu tidak tepat karena pertanian minyak sawit, termasuk yang di RI, lebih ramah lingkungan dibandingkan pertanian minyak nabati lainnya, seperti minyak rapeseed dari Eropa.
Menurut Mahendra, penggunaan pupuk untuk pertanian sawit hanyalah 1/20 dari yang digunakan untuk pertanian rapeseed yang ada di Eropa. Sementara penggunaan pestisidanya hanya 1/100 dari pertanian rapeseed.
"Padahal pestisida maupun pupuk itu mengakibatkan polusi yang luar biasa pada lingkungan baik air maupun tanah, dan kemudian mengalir ke sungai maupun laut, danau dan lain sebagainya," ujarnya.
"Jadi ini jauh lebih destruktif sifatnya. Jadi kalau mau melihat dampak lingkungan, dampak keberlanjutan, mari kita lihat seluruhnya dan mari kita lakukan penelitian, pengkajian, sehingga dapat hasil yang baik, yang optimal. Dan memang bukan sebagai suatu cara untuk mendiskriminasi suatu produk sekedar untuk melindungi dan memproteksi produk lainnya," jelasnya.