JAKARTA, GLOBALPLANET - Industri sawit seakan memiliki kekebalan yang super tinggi di pasar global. Meski banyak negara melakukan lock down akibat pandemi covid, perdagangan minyak sawit secara internasional tetap berjalan. Akibat pandemi covid juga, banyak negara mengalami resesi atau pertumbuhan negatif selama kuartal kedua, namun impor minyak sawit Indonesia ke negara negara tersebut secara agregat masih tetap tumbuh positif dari tahun lalu.
India yang pada triwulan kedua (tw2/2020) ekonominya tumbuh minus 23.9 persen, impor minyak sawit dari Indonesia masih meningkat dari USD 438 juta menjadi USD 772.3 atau tumbuh 76 persen. USA yang pada tw 2/2020 ekonominya tumbuh minus 32.9 persen, impor sawit dari Indonesia masih naik dari USD 218 juta menjadi USD 277 juta atau tumbuh 27 persen.
Dua negara atau kawasan tujuan ekspor sawit Indonesia pada tw2/2020 nilai impor sawit dari Indonesia meski masih di bawah tahun lalu namun trend meningkat mendekati bahkan dapat melampaui tahun lalu.
Kawasan UE yang ekonominya bertumbuh minus 11.9 persen, impor minyak sawit dari Indonesia masih cukup besar. Nilai impor minyak sawit dari Indonesia oleh tiga negara utama EU yakni Jerman, Belanda dan Spanyol pada tw2/2020 masih mencapai USD 549 juta atau sekitar 9 persen di bawah periode yang sama tahun lalu.
China, yang telah menikmati pertumbuhan positif pada tw 2/2020, nilai impor sawit dari Indonesia meski trend meningkat namun masih 37 persen di bawah tahun lalu yakni dari USD 1076 juta menjadi USD 675 juta.
Bagi ekonomi Indonesia, devisa sawit sebesar itu menambah darah segar perekonomian di tengah pandemi covid dan resesi ekonomi. Devisa sawit USD 11.9 miliar tersebut menyehatkan bahkan membuat surplus neraca perdagangan Indonesia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, akumulasi neraca perdagangan periode Januari-Juli 2020, mencatat neraca non migas surplus USD 12.5 miliar, sedangkan neraca migas minus USD3.8 miliar, sehingga neraca perdagangan secara agregat surplus USD8,7 miliar. Dari surplus non migas tersebut, sekitar USD11.9 miliar atau 95 persen berasal dari devisa sawit. Artinya surplus non migas tersebut disumbang oleh devisa sawit. Seandainya tidak ada devisa sawit, Indonesia akan mengalami defisit neraca perdagangan.
Devisa sawit sebesar USD 11,9 miliar yang setara dengan Rp 170 triliun lebih dari duakali lipat dana penangan pandemi covid dari APBN yang hanya Rp 75 triliun. Dari sisi permintaan agregat, Injeksi darah segar dari devisa sawit tersebut dalam perekonomian akan menambah permintaan aggregat sehingga akan menambah daya ungkit konsumsi maupun investasi.
Dari sisi penawaran agregat, devisa sawit tersebut dihasilkan dari kebun- kebun sawit yang berada di 200 lebih kabupaten dengan melibatkan jutaan UMKM dan korporasi di pelosok Indonesia. Permintaan minyak sawit yang masih besar dari negara -negara importir, menggerek naik harga TBS di tingkat kebun. Ini membuat “mesin-mesin” ekonomi kebun sawit berputar makin cepat. Putaran mesin ekonomi sawit ini juga menulari mesin ekonomi pangan di pedesaan sehingga berputar lebih cepat.
Putaran mesin mesin ekonomi pedesaan tersebut membuat pedesaan tidak mengalami kekurangan pangan, PHK, selama masa pademi covid ini. Bahkan sebaliknya ekonomi pedesaan tetap bergairah dan tidak kenal resesi seperti ekonomi perkotaan.
Kita berharap, putaran “ mesin- mesin” ekonomi pada sentra- sentra kebun sawit makin kencang dan menulari “ mesin- mesin” ekonomi perkotaan agar terhenti berputar akibat pandemi covid.
Kilauan devisa sawit yang dihasilkan dari 200 lebih kabupaten sentra sawit tersebut yang merupakan darah segar baru, akan menjadi kekuatan penting untuk mencegah dan menarik ekonomi keluar dari resesi ekonomi.
Dr. Tungkot Sipayung, Ekonom dan Direktur Eksekutif PASPI