JAKARTA, GLOBALPLANET - Menurut Piket, sepanjang 10 bulan pertama tahun lalu, ekspor kelapa sawit Indonesia ke Uni Eropa meningkat 27 persen secara nilai dan 10 persen secara volume.
“Tren kinerjanya di 10 bulan 2020 meningkat. Ini menunjukkan bahwa tidak benar kami melarang ekspor minyak kelapa sawit,” katanya saat konferensi pers virtual, Rabu (13/1/2021).
Sebelumnya, pembatasan impor CPO dari Indonesia dan negara produsen lain didasari adopsi Pedoman Energi Terbarukan II (Renewable Energy Directive II/REDII) yang menjadi undang-undang ET utama blok itu.
Melalui RED II, UE didorong untuk meningkatkan porsi sumber terbarukan dalam bauran konsumsi energi mereka menjadi 32 persen dari total konsumsi pada 2030, yang mengindikasikan penghentian penggunaan biofuel.
Piket juga mengkonfirmasi jika sampai saat ini proses konsultasi masih dilakukan Indonesia dan UE pada 19 Februari 2020 di kantor pusat WTO di Jenewa, Swiss. Saat itu Indonesia mengajukan 108 pertanyaan terkait dengan penerapan kebijakan RED II. Kedua negara kemudian dapat berunding untuk menemukan jalan tengah selama 60 hari sejak konsultasi dilakukan.
Apabila sesuai jadwal, tenggat terakhir untuk berunding adalah 19 April 2020. Namun, terdapat penundaan karena situasi pandemi.
Piket mengatakan di luar proses sengketa di WTO, Uni Eropa telah membentuk kelompok kerja dengan negara-negara produsen termasuk Indonesia, untuk merundingkan isu-isu seputar keberlanjutan industri kelapa sawit yang menjadi ganjalan perdagangan produk ini selama beberapa waktu ke belakang.
“Ada kelompok kerja yang mendiskusikan hal ini. Sebelum akhir bulan ini, dari pihak UE mengharapkan supaya semua kebingungan yang ada bisa terselesaikan sehubungan dengan kelapa sawit,” pungkasnya.