loader

Harga Tertinggi Industri Minyak Sawit Saat Ini Hingga Mencapai RM4.210 atau US$1.052 Per ton

Foto

JAKARTA, GLOBALPLANET - “Ini menjadi harga tertinggi sepanjang sejarah industri minyak sawit setelah awal tahun 2008 lalu sempat mencapai RM4.005,” Kata Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Tungkot Sipayung kepada Gatra.com, Jumat (12/3).

Memang kata Ketua Tim Lintas Kementerian dan Asosiasi Penyusunan Roadmap Industri Sawit Indonesia ini, kenaikan harga Crude Palm Oil (CPO) sudah terjadi sejak Mei tahun lalu.

Kenaikan ini dipicu oleh kurangnya pasokan minyak nabati ke pasar dunia. Stok minyak sawit di negara-negara tujuan seperti Cina, India, Uni Eropa (UE) dan lainya di bawah stok tahun 2019 dan volume stok itu masih berlangsung sampai sekarang.

“Penyebabnya tak lepas dari dampak El Nino 2019 yang membikin produksi minyak sawit turun 10%-15% dari target. Mandatori B30 yang diberlakukan Indonesia sejak 2020 juga membikin pasokan minyak sawit ke pasar dunia berkurang 8 juta ton,” Tim Ahli Pemerintah pada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dalam menghadapi kebijakan Renewable Energy Directives (RED II) ILUC Uni Eropa ini mengurai.

Belakangan ekspektasi penurunan pasokan CPO ke pasar dunia juga datang dari Malaysia yang tahun ini sudah siap-siap memberlakukan B20.

Pasar juga kesulitan mencari alternatif lantaran produksi minyak nabati lain juga menurun. Cuaca buruk di USA dan Amerika Selatan membikin produksi minyak kedelai menurun.

Di kawasan Eropa terjadi pula penurunan area tanam rapeseed dan sunflower. Dampak pandemi Covid 19 yang cukup besar terhadap pertanian dan distribusi negara negara maju, melengkapi situasi tak elok itu.

“Setidaknya dalam semester ganjil 2021 ini, pasar dunia masih kekurangan stok. Itulah salah satu faktor yang membikin harga minyak nabati termasuk sawit, tinggi,” ujar lelaki 56 tahun ini.

Hanya saja memasuki semester genap tahun ini, harga kemungkinan akan turun seiring adanya perkiraan bahwa produksi CPO dan minyak nabati lainnya, semakin pulih.

Lantaran itulah kata Tungkot, Indonesia musti hati hati mengelola harga tinggi saat ini. Soalnya kalau harga ketinggian, perbedaan harga minyak sawit dengan minyak nabati lain akan makin menyempit, ini akan membikin daya saing minyak sawit makin turun.

Sementara dampak harga terlalu tinggi, akan membikin produsen CPO dan Tandan Buah Segar (TBS) akan tergoda untuk menaikkan pengeluaran yang berdampak pada Harga Pokok Produksi (HPP) yang meningkat.

Sebab biasanya, kalau harga bagus, upah panen naik, angkutan juga naik. Petani juga akan berpotensi untuk tergoda memanen TBS yang masih mentah. Belum lagi munculnya para pencuri TBS. Ini semua akan berdampak pada naiknya HPP.

“Kalau sempat ini terjadi, dampaknya akan buruk saat harga CPO dunia turun. HPP terlanjur tidak kompetetif. Kekhawatiran lain adalah harga CPO tinggi akan makin mengancam B30 di dalam negeri. Akibatnya beban subsidi biosolar akan meningkat,” katanya.

Tungkot tak menampik produsen biodiesel domestik akan tergoda untuk memasarkan CPO nya ke pasar dunia ketimbang diolah menjadi biodiesel untuk keperluan B30.

“Kalau godaan ini jebol, B30 akan terancam, stamina kenaikan harga CPO dunia akan cepat kendor dan bahkan bisa turun cepat,” Tungkot mengingatkan.

Indonesia kata Tungkot adalah eksportir minyak sawit terbesar dunia. Kalau B30 tidak jalan maka sekitar 8 juta ton CPO akan bertambah ke pasar dunia. Ini akan membuat stok CPO dunia meningkat, maka harga CPO pun akan turun cepat.

“Untuk itu, jangan sampai tergodalah. Kalau tidak tergoda, maka Indonesia akan jadi pengatur irama pasar minyak sawit dunia,” Tungkot yakin.

Alat pengatur itu kata Tungkot adalah B30 tadi. Sebab sejak B30 dijalankan tahun 2020 lalu, Indonesia sudah jadi dirigen atau conductor pasar minyak sawit dunia. “Ini harus dipertahankan dan bahkan harus ditingkatkan,” pintanya.

Share

Ads