MUBA, GLOBALPLANET - Hal ini tidak terlepas dari kontribusi dan keberadaan perempuan. Baik sebagai pekerja dan/atau sebagai istri pekerja. Pemberdayaan, perlindungan dan pemenuhan hak pekerja perempuan adalah menyatu dalam upaya mewujudkan sawit Indonesia yang makin berkelanjutan.
Kendati demikian, isu negatif terkait pekerja perempuan di sektor sawit masih saja disebarkan oleh pihak antisawit. Untuk menepis hal ini, diperlukan upaya-upaya perbaikan yang berkolaborasi dengan berbagai pihak pemangku kepentingan.
Ketua GAPKI Bidang Ketenagakerjaan, Sumarjono Saragih, mengapresiasi adanya Rumah Perlindungan Pekerja Perempuan (RP3) di PT Hindoli-Cargill Musi Banyuasin yang diresmikan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPK), Bintang Puspayoga, Rabu (9/6/2021).
"Ini salah satu upaya Mendukung pemerintah dan agenda global dalam pemenuhan hak-hak pekerja perempuan terutama di sektor perkebunan kelapa sawit," ungkapnya.
Bicara soal sawit kata Sumarjono tentu itu bicara tentang kita, karena ada 16 juta pekerja di bidang sawit dan di dalamnya ada pekerja perepuan.
"Kita juga terbitkan buku panduan perlindungan hak-hak pekerja perempuan di perkebunan terutama di perkebunan sawit," jelasnya.
Buku Panduan Praktis ini adalah salah satu wujud kolaborasi buruh dan pengusaha (bipartit) yang akan disebarluakan ke semua pekebun, termasuk petani.
Menurut Sumarjono, pada awal 2019, GAPKI bersama CNV International, Hukatan, dan Inkrispena melakukan penelitian tentang pekerja perempuan di sektor sawit pada dua perusahaan sawit di Lampung.
“Berdasarkan hasil penelitian itu, disusun Panduan Praktis Perlindungan Pekerja Perempuan di Perkebunan Sawit. Panduan Praktis diharapkan dapat membantu pengusaha dan manajemen di sektor sawit dalam menyusun kebijakan di tingkat perusahaan, sekaligus memulai dan memperbaiki praktik dalam mendukung hak-hak pekerja perempuan,” kata Sumarjono.
Panduan praktis idealnya dapat mempermudah dalam mengimplementasikan peraturan nasional dan standar internasional yang sudah ada sebelumnya dan relevan dengan pemenuhan hak-hak pekerja perempuan.
“Panduan praktis ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi semua pelaku industri sawit (perusahaan, petani, pekerja) untuk mewujudkan industri sawit berkelanjutan,” jelasnya.
Aspek pekerja perempuan di industri sawit mendapat perhatian luas dalam dekade terakhir. Ada perhatian untuk tujuan perbaikan. Tidak sedikit yang menuding untuk tujuan kampanye negatif dan hitam. Ada aksi yang merekayasa potongan data kemudian diframing dengan narasi tuduhan bahwa sawit Indonesia itu buruk rupa karena melakukan pelanggaran dan eksploitasi perempuan.
Anggota GAPKI adalah korporasi yang menjalankan usaha berdasarkan undang-undang dan turunannya. Hukum nasional kita sangat melindungi pekerja termasuk perempuan. Jadi praktek exploitatif pekerja (dan perempuan) adalah pelanggaran hukum.
“GAPKI terus berupaya mendorong kepatuhan. Salah satunya adalah target 100% anggota GAPKI mendapat sertifikasi ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil),” tegasnya.
Upaya kampanye negatif/hitam memang tak pernah mereda. Dapat dipahami karena sawit sebagai sektor besar dan strategis. Dari sisi perdagangan, menjadi ancaman (kompetitor) minyak nabati yang mayoritas dihasilkan negara barat.
Juga karena dan melibatkan sedikitnya 16 juta pekerja. Belum lagi petani disebutkan sebanyak 2 juta (Bapennas 2015). Artinya dengan asumsi separuhnya adalah perempuan maka ada 9 juta pekerja perempuan.
Diharapkan isi panduan ini akan lengkap dan menjawab kebutuhan bersama. Juga ada rasa memiliki dan ikatan moral emosional yang akhirnya memunculkan kesadaran kepatuhan bersama, buruh dan pengusaha.