PALEMBANG, GLOBALPLANET - “Secara khusus, dengan Sri Lanka saya meminta atau mengharapkan agar Pemerintah Sri Lanka meninjau kembali atau menghapus kebijakan yang menghambat ekspor sawit Indonesia ke Sri Lanka,” ujar Retno dalam keterangan persnya, Sabtu, 25 September 2021.
Retno Marsudi mengatakan telah sepakat untuk mengintensifkan komunikasi dengan Menteri Luar Negeri Sri Lanka guna menyelesaikan isu sawit tersebut.
Dalam dua hari terakhir, Retno menyebut telah melaksanakan 18 pertemuan bilateral dengan perwakilan negara maupun organisasi. Misalnya saja dengan Komisaris Tinggi UNHCR, Sekjen Liga Arab, CEO US ASEAN Business Council, Menlu Sri Lanka, serta Menlu Jepang.
Selain itu, Presiden Palau, Menlu Mozambik, Menteri Negara Luar Negeri Inggris, Menlu Pakistan, Menlu Serbia, Menlu Iran, Sekjen PBB, Perdana Menteri Belanda, Menlu Perancis, US Under Secretary for Political Affairs, Menlu Mauritania, Menlu Thailand, hingga Utusan Khusus AS untuk Afghanistan, Duta Besar Zalmay Khalidzad.
Retno mengatakan secara umum, isu yang selalu muncul di dalam pertemuan bilateral adalah salah satunya adalah kerja sama ekonomi untuk pemulihan ekonomi. Dalam kesempatan itu, ia membahas berbagai peningkatan kerja sama ekonomi dengan berbagai negara.
“Dorongan untuk segera menyelesaikan perjanjian perdagangan seperti Preferential Trade Agreement (PTA) saya sampaikan dengan Pakistan, Sri Lanka, Iran, dan Mozambique,” tutur Retno.
Sebelumnya, Pemerintah Sri Lanka secara resmi melarang impor sawit dan aktivitas perluasan perkebunan komoditas minyak nabati tersebut. Otoritas setempat bahkan meminta para produsen untuk mulai mengganti tanaman sawit mereka dengan komoditas yang dinilai lebih ramah lingkungan.
Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa dalam keterangan resmi yang dikutip Yahoo Finance pada Senin, 6 April 2021, menyebutkan bahwa kebijakan ini diterapkan untuk membebaskan negaranya dari perkebunan dan konsumsi sawit. Impor dan perluasan sawit di negara tersebut memang meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
“Perusahaan dan entitas yang telah melakukan budi daya (kelapa sawit) diharuskan mengurangi luas tanam secara bertahap sebesar 10 persen dalam setiap proses. Perusahaan juga harus menggantinya dengan komoditas karet atau tanaman ramah lingkungan lainnya setiap tahun,” demikian instruksi Rajapaksa dalam keterangan resmi.