“Larangan ekspor tersebut juga sudah menyadarkan Indonesia, betapa pentingnya sawit untuk Indonesia, baik dari segi ekonomi, sosial dan keberlanjutan, bahkan dunia yang dulunya selalu menomor tigakan sawit, namun di saat yang bersamaan "menjerit" ketika kran eksport ditutup oleh presiden,” ujar Gulat.
Gulat mengimbau kepada petani sawit Indonesia menjaga dan memegang komitmen untuk tetap berguna bagi Indonesia dan tentunya membayar pajak yang terkait dengan perkebunan sawit masing – masing.
Ketua Umum POPSI Pahala Sibuea mendukung langkah Presiden Jokowi membenahi regulasi di lembaga BPDPKS. “Kami juga melihat di BPDPKS menjadi salah satu kunci untuk perbaikan pada tata kelola sawit di Indonesia misalnya, ke depan BPDPKS harus fokus mendukung kelembagaan-kelembagaan petani sawit di seluruh Indonesia,” katanya dalam keterangan pers, Kamis (19/5).
Pahala Sibuea juga menilai, selama ini BPDPKS banyak dimanfaatkan hanya untuk kepentingan konglomerat biodiesel. Hal ini bisa dilihat dari dana BPDPKS Rp 137,283 triliun yang dipungut sejak 2015 – 2021.
Mayoritas atau sekitar 80,16% dari dana tersebut untuk subsidi biodiesel yang dimiliki oleh konglomerat sawit. Sedangkan petani sawit hanya 4,8% melalui program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).
Ketua Umum FORTASBI H Narno berharap pemerintah memperhatikan tata kelola sawit setelah pencabutan ekspor CPO. Ia berharap, kelembagaan petani sawit didukung untuk memiliki pabrik pengolahan kelapa sawit sampai minyak goreng dengan memanfaatkan dana sawit yang dikelola oleh BPDPKS.