JAKARTA, GLOBALPLANET - Industri sawit Indonesia terus mendapatkan teror dari Eropa. Negara-negara di benua Biru berulang kali membawa isu lingkungan dan pengrusakan hutan atau populer disebut deforestasi.
Gubernur Kalimantan Timur (Kaltim) yang juga Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia, Isran Noor membawa isu minyak sawit dalam kunjungan ke Belanda pada pekan pertama Juli.
“Menurut saya, ini bukan persoalan lingkungan dan pengrusakan hutan, tapi kompetisi,” kata Gubernur Isran Noor di Kedutaan Besar Republik Indonesia Denhaag, seperti dilihat dari laman resmi Pemprov Kaltim, Senin (24/7/2023).
Isran Noor menilai, bil dibandingkan dengan minyak matahari yang banyak diproduksi di Eropa, sawit lebih ramah lingkungan. Pertama, karena sawit bisa bertahan hidup selama 25 hingga 30 tahun. Selama itu pula, sawit tetap menjadi pohon, meski homogen.
Kalau bunga matahari, setiap enam bulan dipanen. Saat itu hutan dibuka kembali.
“Kalau sawit tidak. Selama 25 tahun dia akan tetap menjadi pohon untuk menahan hantaman panas matahari, penguapan terbatas dan kalau ada air hujan dia akan menyerap air,” katanya.
Persaingan yang diyakini adalah tentang produktivitas dan produksi. Satu hektare sawit sama dengan 10 hektare minyak matahari. Minyak matahari tidak mungkin bersaing dengan minyak sawit.
Ditegaskan juga, bahwa penanaman sawit juga selalu mengacu pada kaidah-kaidah lingkungan. Salah satunya, sawit tidak ditanam di kawasan hutan, tapi kawasan nonkehutanan, yakni areal penggunaan lainnya (APL). Sayangnya, banyak kelompok-kelompok di dalam negeri yang justru memberikan data dan informasi yang salah ke Eropa.
Masih dilansir dari laman resmi Pemprov Kaltim, Duta Besar (Dubes) Republik Indonesia Denhaag Mayerfas meminta agar produksi dan ekspor CPO ke Belanda dan Eropa tetap dilanjutkan.
“Tanpa sawit, mereka pasti sulit. Beberapa waktu lalu, ketika kita stop dua bulan, mereka (Eropa) teriak,” kata Mayerfas.
Belanda sendiri kata Mayerfas, menjadi partner utama perdagangan Indonesia di Eropa. Tahun lalu ekspor Indonesia mencapai USD 65 miliar dan surplus sebesar USD 5 miliar. Belanda juga merupakan investor terbesar Eropa ke Indonesia, termasuk besarnya kunjungan wisatawan ke Tanah Air.
“Jadi lanjutkan saja sawitnya Pak Gubernur. Yang pasti, Belanda akan terus memberi banyak nilai tambah secara ekonomi untuk Kaltim dan Indonesia,” kata Mayerfas.