PALEMBANG, GLOBALPLANET - Hal ini disampaikan pengamat komunikasi lingkungan dari Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang Dr Yenrizal Tarmizi.
"Kuncinya itu, komunikasi ke desa-desa dan pemberdayaan masyarakat sekitarnya. Dibandingkan mempersiapkan diri untuk memadamkan api, cara ini memiliki pengaruh yang lebih besar, " ujar Yenrizal, Selasa (1/6/2021).
Akan tetapi menurutnya, upaya komunikasi dan pemberdayaan desa di Sumsel yang rawan terjadi karhutla sudah terlaksana namun belum optimal.
Hal ini dikarenakan pihak terkait belum mengakomodasi kebutuhan masyarakat sepenuhnya sehingga perilaku membakar lahan masih terjadi.
"Ini belum maksimal keliatannya, perilaku membakar lahan telah menjadi kebiasaan dan kebutuhan masyarakat di desa-desa sekitar hutan maupun lahan gambut, perilaku tersebut sulit dihentikan meski sudah ada orang-orang yang ditangkap kepolisian, " jelas dia.
Perilaku membakar lahan telah menjadi kebiasaan dan kebutuhan masyarakat di desa-desa sekitar hutan maupun lahan gambut, perilaku tersebut sulit dihentikan meski sudah ada orang-orang yang ditangkap kepolisian.
Sebab larangan pembakaran lahan dari pemerintah kurang diimbangi dengan solusi yang efektif dan maksimal agar masyarakat tidak membakar lahan, seperti kurangnya penyediaan alat untuk membuka lahan maupun pemberdayaan lain yang benar-benar bisa menjadi alternatif pendapatan ekonomi.
Oleh sebab itu, mengharapkan para pemangku kepentingan di Sumsel melakukan inovasi penanganan karhutla dengan pola struktur yang jelas dan komprehensif dalam penguatan pencegahan karhutla, desa-desa hendaknya diposisikan sebagai kunci utama.
"Sebab inovasi penanganan karhutla yang kerap dimunculkan lebih banyak terkait teknis penanggulangan api, misalnya teknologi digital pendeteksi api dan pembangunan sumur bor," tutupnya.