OKI, GLOBALPLANET - Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) belum menerima informasi secara utuh terkait oknum pimpinan pondok pesantren dijemput Densus 88.
Demikian disampaikan Kepala Kankemenag OKI H. Syarip melalui Kepala Sub Bagian TU Muazni Masykur saat ditanya awak media, Selasa (17/10/2023).
“Sampai sekarang kami belum menerima info secara utuh mengenai penangkapan salah satu pimpinan ponpes di Kabupaten OKI ini,” ungkapnya didampingi Kasi Pontren Kankemenag OKI Efin Gustrizali.
Oleh karena itu, kata dia, mereka menganggap tidak punya hak untuk mengomentari, karena informasi secara utuh belum didapatkan.
Ketika disinggung regulasi ponpes yang bersangkutan, menurut dia ponpes itu pada intinya belum mendapatkan izin. Artinya belum terdaftar di Kementerian Agama, baik di Kabupaten OKI maupun di pusat.
“Sebab prosedur izin itu dari bawah sampai ke pusat, tapi yang mengeluarkan pusat. Kami juga dari Kankemenag OKI mengimbau masyarakat untuk berhati-hati dalam menerima berbagai macam ajaran,” ujarnya.
“Kita berharap, khususnya di Kabupaten OKI selalu dalam situasi kondusif,” tuturnya lagi.
Terpisah, Ketua Dewan Dakwah OKI Ustadz Suparjon Ali Haq Al Tsabit S.PdI M.PdI mengemukakan, untuk informasi mengenai terduga teroris itu, sebenarnya dia sudah mengetahui dari pihak kepolisian sekitar 6 jam setelah kasus penangkapan.
“Paginya dari TNI, karena kebetulan saya lagi bersilaturahmi dengan Dandim. Dan juga memang, yang ditangkap ini sebenarnya bukan orang baru, tetapi sudah lama yang bersangkutan dan lembaganya itu terindikasi radikalisme sebelumnya,” imbuh dia.
Masih kata Ustadz Al Tsabit, seingatnya mungkin sudah 4 tahunan lembaga tersebut tidak mendapat izin operasional karena terindikasi radikalisme. Tetapi menyangkut afiliasinya, dirinya tidak paham.
“Terkait radikalisme, saya sering dijadikan sebagai narasumber menyampaikan untuk menjauhi pemahaman radikalisme dan terorisme. Cuma memang, kita tidak bisa menyentuh sampai ke semua lapisan,” jelasnya.
Meskipun begitu, lanjutnya, mereka dari dahulu sampai hari ini tetap mengimbau masyarakat jauhi paham yang menyimpang.
“Seperti merasa lebih baik dari orang lain, menyebabkan tidak setuju dengan orang lain atau intoleransi. Merasa segala sesuatu itu harus diselesaikan dengan tindakan kekerasan, sehingga lahir terorisme,” terang dia.
Lebih jauh kata dia lagi, terbiasalah untuk menerima perbedaan di masyarakat. “Sehingga setiap apapun yang terjadi kita sikapi sebagai anak bangsa. Bukan berdasarkan ideologi atau pengaruh kesukuan kita masing-masing,” tutupnya.