PALEMBANG, GLOBALPLANET - Diketahui pajak restoran diatur dalam Perda nomor 2 tahun 2018. Perda tersebut menarik 10 persen dari setiap omzet penjualan yang minimal Rp3.000.000 perbulan.
Pantauan, massa pengunjuk rasa membawa ayam tiruan beserta kandang ayamnya sebagai simbol.
"Wali kota.. Seharusnya bela rakyat.. Jangam tindas rakyatmu dengan pajak..," nyanyiam yel-yel dari pengunjuk rasa.
Koordinator Aksi, Bima Sakti mengatakan, para pelaku usaha mengaku keberatan dengan kebijakan tersebut. Mereka tidak ingin menjadi seperti ayam potong yang nasibnya ditentukan oleh pedagang yang bisa dipotong kapanpun. "Itu perandaian kami, jangan jadikan kami seperti ayam potong pak wali kota," ujarnya
Pelaku kuliner yang tergabung dalam Forum Komunikasi ini mengaku keberatan dan kebijakan Pemkot Palembang, Perda Kota Palembang tersebut mendefinisikan restoran sebagai usaha kuliner secara umum seperti warung makan, warung tenda dan penjajah makanan dengan sepeda dan motor pun dapat dikategorikan sebagai restoran.
Menurutnya, ketentuan 10 persen merupakan angka yang terlalu tinggi jika diambil dari omset. Sebab, omset tidak dapat dijadikan patokan kelayakan bagi usaha yang mampu membayar pajak. Pada usaha kuliner yang belum mendapatkan keuntungan jika omsetnya belum lebih Rp 2.000.000.
"Jika pihak Pemkot berdalih akan menetapkan pajak kepada konsumen itu pun tidak tepat. Sebab konsumen para pelaku usaha kuliner yang tergabung dalam forum ini merupakan konsumen dari segmen menengah ke bawah. berdasarkan pengalaman beberapa restoran dan rumah makan di Palembang pemasangan tapping box sebesar 30% dalam jangka waktu 3 sampai 5 hari setelah pemasangan," jelasnya.
Ia mengaku, berdasarkan pengalaman beberapa pedagang setelah pemasangan alat tapping box 3-5 hari, omzet menurun 30 persen.
"Setelah kami menyatakan sikap penolakan terhadap kebijakan pajak restoran dari Pemkot ini dalam waktu lebih dari 7 bulan patut disyukuri ada upaya revisi Perda Nomor 2/2018 yang saat ini sedang diproses DPRD kota Palembang. Namun dari pengamatan kami, pihak Pemkot Palembang seperti tidak serius dalam mengkaji persoalan pajak restoran," tuturnya.
Sementara itu Ketua FK-PKPB H Isdaril menjelaskan, pihaknya selama 7 bulan terakhir telah meminta masukan dari Ombudsman, DPRD, dan para ulama karena ini adalah kegundahan para pedagang.
Ia menuntut agar dapat bertemu wali kota untuk membahas revisi perda pajak bersama paguyuban pedagang kuliner.
"Kita tunggu paling lama selama 3 hari, rencananya Kamis nanti kami menghadap Wali kota Harnojoyo. Harus ada klasifikasi terhadap restoran. Kita bukan menolak pajak 10 persen tidak mungkin kami menolak. Tapi kami inikan pedagang tenda warung kecil, diklasifikasikan sebagai UMKM semestinya ada UU nya, soal pajak bagi UMKM," tandasnya.
Sekretaris Daerah Kota Palembang Drs Ratu Dewa mengatakan tuntuan FK-PKBP akan dikaji dan dipelajari BPPD Kota Palembang. "Terlepas terkena atau tidak, ini kita respon bakal ada pengkajian. Setelah dipelajari BPPD maka akan disampaikan DPRD. Saya sepakat harus ada pengklasfikasian 10 persen itu memang tidak merata," kata Dewa.
Di tempat yang sama Sekretaris BPPD kota Palembang Ikhsan Tosni menambahkan, terkait pengklasifikasian pihaknya kini tengah membahas hal tersebut bersama DPRD.
"Memang pada dasarnya pedagang kuliner pecel lele, dan lain sebagainya yang menggunakan tenda memang tak dikenai pajak," ungkapnya.