JAKARTA, GLOBALPLANET - Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Agribisnis, Pangan, dan Kehutanan Franky Oesman Widjaja mengatakan, kenaikan harga CPO itu tentu menjadi kabar baik bagi Indonesia sebagai eksportir sawit terbesar.
Kenaikan harga tersebut berdampak pada kenaikan devisa dan ikut mengerek penerimaan para pelaku usaha dan petani sawit di Tanah Air.
“Ada good news dari sawit, ini sangat terbantu sekali dengan kebijakan B30 pemerintah. Harga sawit hampir US$ 800 per ton (FOB). Jadi, dengan B30 finance dibayar oleh konsumen luar negeri, kalau harganya turun US$ 100 per ton dan kita ekspor 30 juta ton kurang lebih sudah beda US$ 3 miliar untuk devisa dan penerimaan pelaku usaha dan petani,” kata dia saat pertemuan Kadin Indonesia dengan pemimpin redaksi media massa terkait penyelenggaraan Jakarta Food Security Summit (JFSS) 2020, kemarin.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Agus Suparmanto juga menjelaskan, kenaikan harga dan permintaan CPO di pasar internasional khususnya dari India dan Tiongkok menjadi salah satu penyebab membaiknya neraca perdagangan nasional. Neraca perdagangan Januari-September 2020 surplus US$ 13,50 miliar, angka ini melampaui keseluruhan 2017 dan merupakan capaian tertinggi sejak 2012.
“Surplus dipengaruhi ekspor nonmigas Indonesia yang mengalami kenaikan di September 2020 antara lain karena naiknya harga biji besi dan baja serta lemak hewan dan minyak nabati. Peningkatan nilai ekspor lemak hewan dan minyak nabati disebabkan melonjaknya harga CPO di pasar internasional dan naiknya permintaan dari India dan Tiongkok,” jelas Agus.
Menurut Franky, membaiknya harga CPO di pasar internasional tersebut tentu akan berpengaruh ke petani sawit di Indonesia yang saat ini jumlahnya kurang lebih 5 juta.
Namun demikian, tidak semua petani sawit bisa maksimal menikmati kenaikan harga karena khusus petani sawit swadaya saat ini dihadapkan pada persoalan produktivitas rendah. Rata-rata produktivitas sawit petani swadaya hanya 2-2,50 ton per hektare (ha) sementara standar industri 5 ton per ha.
“Petani sawit itu ada yang menjadi plasma perusahan dan ada yang independen atau swadaya.
Untuk yang swadaya ini yield produksinya rendah, hanya 2-2,50 ton per ha, jauh dari standar industri,” jelas Franky.
Pemerintah berusaha meningkatkan produktivitas petani dengan menggunakan dana pungutan sawit yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) melalui program peremajaan sawit rakyat (PSR), setiap petani mendapat hibah Rp 30 juta per ha.
Pemerintah menargetkan 185 ribu ha PSR tahun ini, agar berkelanjutan maka kekurangan dana PSR pada petani diarahkan pada pinjaman kredit usaha rakyat (KUR) yang berbunga rendah.
“Hal yang sama (peningkatan produktivitas petani) juga kami lakukan melalui PISAgro (Partnership for Indonesia Sustainable Agriculture), kami coba dorong. PISAgro telah tuntas mendampingi 1 juta petani hingga awal 2020 dan akan ditingkatkan 1 juta lagi hingga 2023, termasuk petani sawit,” ujar dia.
Franky juga menuturkan, pandemi Covid-19 memang memberikan pengaruh ke perekonomian dan konsumsi domestik. Kebijakan lockdown misalnya, telah mengganggu pariwisata, restoran, pusat perbelanjaan, contohnya di Bali penurunan pertumbuhan ekonominya sampai 12-16%. Namun, untuk sektor agribisnis, pangan, dan kehutanan berjalan lancar.
“Restoran cepat saji yang tadinya buka 1.000 gerai harus tutup separuh, ada pengangguran betul di sektor itu. Tapi kami apresiasi pemerintah yang tidak memberlakukan lockdown untuk kegiatan pabrik atau industri perkebunan di sektor kami. Pelaku usaha di sektor kami juga menjalankan displin ketat atas protokol kesehatan sehingga operasional berjalan normal. Kami mengekspor dengan lancar, malah naik,” papar Franky.
Menurut Franky, secara umum pertumbuhan sektor pertanian juga tetap tinggi pada saat sektor lain justru mengalami penurunan kinerja sehinga pertanian perlu terus dikembangkan. Kebijakan dan kemitraan yang berpihak kepada sektor pertanian, peternakan, dan perikanan yang mendukung ketahanan pangan, sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani, peternak, dan nelayan, perlu terus didorong.
“Masalah-masalah utama sektor pertanian perlu menjadi perhatian serius, seperti ketersediaan bibit unggul, keterbatasan lahan, serta keterbatasan modal dan pasar,” kata dia.
Hal tersebut akan coba dicarikan jalan keluarnya melalui perhelatan JFSS 2020 atau JFSS kelima yang diselenggarakan Kadin Indonesia pada 18-19 November ini. Kadin Indonesia melalui JFSS kelima akan membahas sejumlah solusi dari sejumlah masalah pangan/ pertanian, sekaligus solusi menghadapi ancaman krisis pangan akibat pandemi Covid-19. Selama dua hari, ada empat tema besar yang akan dibahas dalam JFSS 2020 tersebut, yaitu Covid-19, Momentum untuk Mendukung Petani, Peternak, dan Nelayan, kemudian Memaksimalkan Potensi Pasar Domestik, lalu Strategi Eekspor Indonesia di Masa Pandemi, dan Menyusun Strategi Baru Pascapandemi.