loader

Petani minta Kemenkeu Kaji Penerapan Bea Keluar dan Pungutan Ekspor Sawit

Foto

JAKARTA, GLOBALPLANET. - Dasar usulan ini adalah beban ganda industri sawit dengan adanya penerapan bea keluar dan pungutan ekspor kelapa sawit. Sebagai informasi, bea keluar diatur dalam PMK No.166/PMK.010/2020 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar. Besaran bea keluaran ditentukan berdasarkan referensi harga CPO yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan setiap bulannya.

Sementara itu, pungutan ekspor ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.191/PMK.05/2020 tentang Perubahan PMK Nomor 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Regulasi ini baru terbit yang mengatur penyesuaian tarif pungutan ekspor sawit.

“Kami petani mengetuk hati Kemenkeu supaya  mempertimbangkan ulang pelaksanaan Bea Keluar (BK) CPO juga. Petani berharap bea keluar dinolkan dulu. Tapi pemerintah pasti punya argumen kuat mengapa bea keluar tetap diberlakukan  ditambah pungutan ekspor  melalui PMK (191/2020),” jelasnya.

Gulat mengharapkan pelaksanaan bea keluar dapat ditunda untuk menghindari pungutan berganda ini sampai waktu yang tepat apalagi dalam kondisi pandemi covid-19 saat ini.  Asosiasi khawatir bea keluar dapat menekan harga TBS petani karena tidak berdampak langsung.

“Kalau pungutan ekspor yang dikelola oleh BPDPKS   kami mendukung, karena memang sangat bermanfaat untuk semua masyarakat Indonesia terkhusus Petani Sawit.

“Kami sudah melayangkan surat resmi kepada Presiden Jokowi pada 30 November kemarin perihal penundaan Bea Keluar ini.  Harga TBS sekarang sudah memanusiakan petani sawit. Sebelumnya, harga TBS di kisaran Rp 800 sampai Rp 1200 per kilogram hanya bisa cukup makan saja  dan  menyambung hidup esok harinya. Harga TBS telah mencapai Rp 2.150 per kilogram sudah sangat bagus. Semua berkat program biodiesel yang menjaga harga TBS Petani. Program ini mendapatkan insentif dari dana pungutan yang dikelola BPDPKS," ujarnya.

Dana pungutan ini juga membiayai peremajaan sawit rakyat, SDM, dan sarana prasarana. Tahun 2021, program sarana prasarana diharapkan bisa diluncurkan karena APKASINDO  mencanangkan tahun depan merupakan tahun hilirisasi TBS petani. Kegiatan ini sesuai dengan arah  BPDPKS.

“Harapan kami, penerapan pungutan ekspor saja dapat mengunci harga TBS petani di kisaran minimum Rp.2.200 per kilogram. Selain itu, dapat dilakukan  perbaikan tata niaga TBS sebagaimana tertuang dalam Permentan nomor 01 tahun 2018. Ibaratnya ada take and give. Pengertian give disini dapat  berpartisipasi melalui pungutan ekspor.  Namun,  take  disini berarti petani menerima harga layak diatas Rp.2.200 per kilogram,” pintanya dilansir dari Sawit Indonesia.com.

Ia berharap aturan tata niaga TBS sawit juga ditinjau ulang karena terlampau banyak potongan dalam penetapan harga TBS seperti Biaya Operasional Langsung (BOL) dan Biaya Operasional Tidak Langsung (BOTL). Sebenarnya potongan BOTL (biaya operasional tidak langsung) dua kali lipat melebihi bea keluar.

Jika BOTL dikonversi menjadi bea keluar akan lebih baik dan memberikan solusi. Karena selama ini tidak jelas peruntukan dan pertanggungjawaban BOTL tersebut setiap minggu dipotong sebesar 2,63% dari harga TBS. Khusus provinsi Riau, dalam seminggu, nilai potongan dapat mencapai Rp 56,64 miliar dari 192 pabrik kelapa sawit di Riau.

Share

Ads