Perkebunan dan Masyarakat Transmigrasi
Transmigrasi (dari bahasa Belanda: transmigratie) adalah perpindahan penduduk dari satu pulau ke pulau yang lain dalam wilayah Indonesia yang bertujuan untuk meratakan persebaran jumlah penduduk. Selain mengurangi kepadatan penduduk, juga untuk mengurangi tingkat kemiskinan di Pulau Jawa. Upayanya yakni dengan menyediakan lapangan kerja, khususnya pada sentra perkebunan. Karena memang wilayah transmigrasi yang notabene masih hutan belantara dan belum tersentuh tangan manusia.
Menurut sejarahnya, program transmigrasi ini sudah ada sejak lama. Program ini dirintis pada awal abad ke-19 oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Pada awalnya untuk mengurangi kepadatan pulau Jawa dan memasok tenaga kerja untuk perkebunan di pulau Sumatra. Program ini perlahan memudar pada tahun-tahun terakhir masa penjajahan Belanda (1940-an), lalu dijalankan kembali setelah Indonesia merdeka untuk menangkal kelangkaan pangan dan bobroknya ekonomi pada masa pemerintahan Soekarno dua puluh tahun setelah Perang Dunia II (id.wikipedia.org).
Pada tahun puncaknya, tahun 1929, lebih dari 260.000 pekerja kontrak Cultuurstelsel dibawa ke pesisir timur Sumatera, 235.000 orang di antaranya berasal dari pulau Jawa. Para pendatang bekerja sebagai kuli; apabila seorang pekerja meminta kontraknya diputus oleh perusahaan (desersi), ia akan dihukum kerja paksa. Sehingga tingkat kematian dan penyiksaan di kalangan kuli pada saat itu sangat tinggi.
Dengan demikian, tidak dapat dimungkiri bahwa hingga saat ini sebagian besar masyarakat di luar pulau Jawa (meliputi Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan sebagian kecil Papua), sangat bergantung dari perkebunan ini. Masyarakat yang notabene merupakan transmigran (sebutan bagi masyarakat yang mengikuti program transmigrasi), mayoritas bekerja pada sentra kelapa sawit. Baik bekerja pada perkebunan pribadi (swadaya), maupun perkebunan milik swasta.