Menjaga stabilitas harga migor tersebut cukup dengan menjaga kebutuhan masyarakat menengah ke bawah (minyak sawit gotong royong). Tidak perlu ikutan dijaga migor yang kelas ekonomi ke atas (kemasan mahal). Masak semua kelas migor disamaratakan, ya babak belurlah Kemendag dan TBS petani sawit jadi sasaran.
Sama seperti bensin premium, pertalite dan pertamax, semua itu ada konsumennya. "Kan tidak mungkin Mercy pakai Premium atau Pertalite? Harga Pertamax lebih mahal tidak ada yang protes," katanya.
Tidak perlu sampai 20% DMO, kebutuhan masyarakat ekonomi menengah (Migor Gotong Royong) cukup di kisaran 7-10%, sehingga bebannya tidak terlampau berat.
APKASINDO juga mengamati sepertinya Kementerian Pertanian tidak dilibatkan dalam rancangan dan risiko regulasi DMO dan DPO ini. Indikasi ini jelas dari keterangan yang kami tanyakan kebeberapa kadisbun provinsi, bahwa mereka juga kebingungan saat akan rapat penetapan harga TBS hari Senin (31/1/2022) karena belum ada arahan dari Kementan.
Memang aneh, yang menentukan atau rapat harga TBS Petani itu di bawah Kementan, tapi tidak dilibatkan secara langsung oleh Kemendag saat mengotak-atik "rohnya" pasar CPO. "Nah sudah tiba kisruh harga TBS Petani saat Ini, malah Kementan terikut jadi sasaran kemarahan Petani sawit seluruh Indonesia," katanya.
Kisruh ini sudah semakin menyadarkan APKASINDO untuk segera memasuki lini industri CPO dan minyak goreng. Sangat rentan posisi kami sebagai petani jika hanya berada di sektor hulu. Pemerintah harus membantu kami menuju ke hilir, atau hal seperti ini akan menjadi langganan.